Halaman

Rabu, 26 Desember 2012

Jurnal 1 Review 2 : Tinjauan Konsep


INSTITUTIONAL BUILDING: UPAYA MEMBERDAYAKAN PETANI

Upaya mewujudkan pembangunan pertanian (agribisnis) masa mendatang adalah sejauh mungkin mengatasi masalah dan kendala kritikal yang sampai sejauh ini belum mampu diselesaikan secara tuntas sehingga memerlukan perhatian yang lebih serius. Satu hal yang sangat kritis adalah bahwa meningkatnya produksi pertanian (agribisnis) selama ini belum disertai dengan meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani secara signifikan. Petani sebagai unit agribisnis terkecil belum mampu meraih nilai tambah yang rasional sesuai skala usaha tani terpadu (integrated farming system). Oleh karena itu persoalan membangun kelembagaan (institution) di bidang pertanian dalam pengertian yang luas menjadi semakin penting, agar petani mampu melaksanakan kegiatan yang tidak hanya menyangkut on farm bussiness saja, akan tetapi juga terkait erat dengan aspek-aspek off farm
agribussinessnya. Jika ditelaah, walaupun telah melampaui masa-masa kritis krisis ekonomi nasional, saat ini sedikitnya kita masih melihat beberapa kondisi yang dihadapi petani di dalam mengembangkan kegiatan usaha produktifnya, yaitu:
_ Akses yang semakin kurang baik terhadap sumberdaya (access to resources), seperti keterbatasan aset lahan, infrastruktur serta sarana dan prasarana penunjang kegiatan produktif lainnya;
_ Produktivitas tenaga kerja yang relatif rendah (productive and remmunerative employment), sebagai akibat keterbatasan investasi, teknologi, keterampilan dan pengelolaan sumberdaya yang effisien;
_ Perasaan ketidakmerataan dan ketidakadilan akses pelayanan (access to services) sebagai akibat kurang terperhatikannya rangsangan bagi tumbuhnya lembagalembaga sosial (social  capital) dari bawah;
_ Kurangnya rasa percaya diri (self reliances), akibat kondisi yang dihadapi dalam menciptakan rasa akan keamanan pangan, pasar, harga dan lingkungan. Secara klasik sering diungkapkan bahwa penyebab utama ketimpangan pendapatan dalam pertanian adalah ketimpangan pemilikan tanah. Hal ini adalah benar, karena tanah tidak hanya dihubungkan dengan produksi, tetapi juga mempunyai hubungan yang erat dengan kelembagaan, seperti bentuk dan birokrasi dan sumber-sumber bantuan teknis, juga pemilikan tanah mempunyai hubungan dengan kekuasaan baik di tingkat lokal maupun di tingkat yang lebih tinggi. Manfaat dari program-program pembangunan pertanian di perdesaan yang datang dari “atas” tampaknya hanya jatuh pada kelompok pemilik tanah, sebagai lapisan atas dari masyarakat desa. Sebagai contoh, program kredit dengan jaminan tanah serta bunga modal, subsidi paket teknologi produksi, bahkan kontrol terhadap distribusi pengairan dan pasar lokal juga dilakukan oleh kelompok ini. Di lain pihak, pelaksanaan perubahan seperti landreform, credit reform dan sebagainya yang memang secara substansial diperlukan sebagai suatu cara redistribusi asset masih merupakan isyu yang kurang populer. Berbagai langkah terobosan sebagai suatu upaya kelembagaan guna memecahkan permasalahan di atas yang  dikembangkan seperti pengembangan sistem usahatani sehamparan, pola PIR dan sebagainya, sama sekali belum memecahkan problem substansial yang oleh Boeke diungkapkan sebagai "dualisme". Dalam pada itu, karakteristik perdesaan seringkali ditandai dengan pengangguran, produktifitas dan pendapatan rendah, kurangnya fasilitas dan kemiskinan. Masalah-masalah pengangguran, setengah pengangguran dan pengangguran terselubung menjadi gambaran umum dari perekonomian saat ini. Pada waktu yang sama, terjadi pula produktifitas yang rendah dan kurangnya fasilitas pelayanan penunjang. Rendahnya produktifitas merupakan ciri khas di kawasan perdesaan. Pada umumnya, sebagian besar petani dan para pengelola industri perdesaan, bekerja dengan teknologi yang tidak berubah. Investasi modal pada masa sebelum krisis lebih banyak diarahkan pada industri perkotaan daripada di sektor pertanian perdesaan. Sebagai konsekuensinya, perbedaan produktifitas antara petani perdesaan dengan pekerja industri perkotaan semakin besar senjangnya. Hal ini merupakan masalah yang banyak dibicarakan dalam menyoroti ketimpangan antara perkotaan dan perdesaan, pertania dan bukan pertanian. Pelayanan publik bagi adaptasi teknologi dan informasi terutama untuk petani pada kenyataannya sering menunjukkan suasana yang mencemaskan. Di satu pihak memang terdapat kenaikan produksi, tetapi di lain pihak tidak dapat dihindarkan terjadinya
pencemaran lingkungan, terlemparnya tenaga kerja ke luar sektor pertanian yang tidak tertampung dan tanpa keahlian/ketrampilan lain, ledakan hama karena terganggunya keseimbangan lingkungan dan sebagainya. Manfaat teknologipun seringkali masih dirasakan lebih banyak dinikmati pemilik aset sumberdaya (tanah) sehingga pada gilirannya justru menjadi penyebab utama dalam mempertajam perbedaan pendapatan dan mempercepat polarisasi dalam berbagai bentuk. Perasaan ketidak-amanan dan kekurang-adilan akibat berbagai kebijakan dan kebocoran (misalnya kasus impor illegal, dumping, pemalsuan dan ketiadaan saprotan, keracunan lingkungan, jatuhnya harga saat panen dan lainnya) seringkali menjadi pelengkap rasa tidak percaya diri (dan apatisme berlebihan) pada sebagian petani. Tinjauan holistik dengan memperhatikan kondisi berbagai aspek kehidupan pertanian dan perdesaan seperti diuraikan disini, menunjukkan bahwa inti esensi dari proses pembangunan pertanian dan perdesaan adalah transformasi struktural masyarakat perdesaan dari kondisi perdesaan agraris tradisional menjadi perdesaan berbasis ekologi pertanian dengan pengusahaan bersistem agribisnis, yang menjadi inti dari struktur ekonomi perdesaan yang terkait erat dengan sistem industri, sistem perdagangan dan sistem jasa nasional dan global. Mencermati situasi di atas, jelas sangat diperlukan upaya-upaya pengembangan agribisnis yang lekat dengan peningkatan pemberdayaan (empowering) masyarakat agribisnis terutama skala mikro dan kecil dalam suatu kebijakan yang “berpihak”. Keberpihakan kebijakan semacam itu sangat (baca: mutlak) diperlukan untuk mengatasi berbagai kendala dan tantangan pengembangan agribisnis yang berorientasi ekonomi kerakyatan, keadilan, dan sekaligus meningkatkan daya saing dalam iklim “kebersamaan” pelaku-pelaku ekonomi lainnya. Untuk itu, sebagai prasyarat keharusan diperlukan suatu iklim kebijakan yang mendorong terbangunnya institusi (kelembagaan) yang mampu meningkatkan posisi petani menjadi bagian dari suatu kebersamaan entitas bisnis, baik dalam bentuk kelompok usaha bersama, koperasi, korporasi (community corporate) ataupun shareholder. Upaya kelembagaan tersebut diyakini akan dapat menjadi nilai (value) baru, semangat baru bagi petani untuk terutama dapat melonggarkan keterbatasanketerbatasannya, seperti akses terhadap sumberdaya produktif (terutama lahan), peningkatan produktivitas kerja, akses terhadap pelayanan dan rasa keadilan, serta meningkatkan rasa percaya diri akan lingkungan yang aman, adil dan transparan. Manifestasi dan implementasi dari upaya kelembagaan tersebut pada dasarnya bukanlah mudah dan sederhana. Sebagai suatu rules atau nilai dan semangat baru dalam pembangunan pertanian ke depan, seyogyanya mengandung berbagai ciri pokok dan mendasar. Pertama, upaya kelembagaan tersebut diharapkan menjadi pendorong terciptanya the same level playing field bagi petani dan pelaku ekonomi lainnya, berdasarkan “aturan main” yang fair, transparent, demokratis dan adil. Kedua, upaya kelembagaan tersebut mampu mendorong peningkatan basis sumberdaya, produktivitas, efisiensi dan kelestarian bagi kegiatan-kegiatan produktif pertanian, yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.

KOPERASI DAN KORPORASI AGRIBISNIS
Institutional building sebagai prasyarat keharusan dalam pengembangan agribisnis yang bagian terbesar pelakunya petani “kecil dan gurem” adalah bangun koperasi dan korporasi agribisnis. Secara substansial, upaya kelembagaan tersebut pada dasarnya dapat dipandang sebagai langkah menuju rekonstruksi ulang dalam penguasaan dan akses sumberdaya produktif di bidang pertanian, terutama berkaitan dengan pengembangan agribisnis. Koperasi lebih merupakan soft-step reconstruction, sementara korporasi lebih merupakan rekonstruksi yang lebih “radikal”, atau hard-step reconstruction. Bangun kelembagaan koperasi dipandang salah satu sosok yang tepat, mengingat entitas tersebut berciri sebagai asosiasi (perkumpulan orang/petani), badan usaha dan juga sebagai suatu gerakan (untuk melawan penindasan ekonomi dan ketidakadilan sistem pasar). Sejarah koperasi di Indonesia memang penuh dengan romantika sebagai akibat “terlampau kuatnya”  dukungan pemerintah dalam kurun waktu yang cukup lama, sehingga dalam banyak hal menjadikan sosok koperasi di Indonesia sempat “kehilangan” jati dirinya. Di kalangan masyarakat sendiri, masih beragam pendapat tentang eksistensi koperasi dalam sistem ekonomi Indonesia saat ini. Sebagian apatis, sehingga memerlukan pengkajian ulang mengenai eksistensi koperasi dalam sistem ekonomi Indonesia. Sebagian lain memandang koperasi sebagai entitas yang perlu dikembangkan, walaupun seadanya saja. Sementara itu, berbagai pendapat lain merasa penting untuk mengembangkan koperasi sebagai sosok kelembagaan ekonomi yang kokoh bagi pemberdayaan masyarakat8. Pendapat terakhir ini Arief, Sritua., 1997. Pembangunan dan Ekonomi Indonesia: Pemberdayaan Rakyat  dalam Arus Globalisasi. CPSM, Bandung. meyakini bahwa koperasi sebagai upaya kelembagaan dapat merupakan instrumen bagi upaya restrukturisasi ekonomi pertanian, untuk mewujudkan keseimbangan dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi pertanian. Ada dua argumen yang melandasi pendapat ini, yaitu (a) secara kolektif, koperasi dapat menghimpun para pelaku ekonomi pertanian dalam menjual produk-produk yang dihasilkannya dengan posisi tawar yang baik, dan (b) koperasi secara organisasi dapat menjadi wadah yang bertanggungjawab bagi kebutuhan pengadaan saprotan maupun kebutuhan lain secara bertanggungjawab pula. Walaupun demikian, ke depan, usaha-usaha untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi bagi pengembangan agribisnis di perdesaan tahap awal tetap masih membutuhkan “ulur tangan” (kebijakan pemihakan) pemerintah secara langsung, akan tetapi dengan pengertian bentuk “ulur tangan” pemerintah tersebut harus ditempatkan dalam upaya pengembangan iklim berusaha yang sesuai. Misalnya, pengembangan program dan metoda penyuluhan pertanian yang diarahkan kepada upaya pengembangan orientasi dan kemampuan kewirausahaan, yang lebih mencakup substansi manajemen usaha dan penyesuaian terhadap materi-materi di bidang produksi dan pemasaran. Dalam hubungan ini maka pola magang dan sistem pencangkokan manajer dapat menjadi alternatif yang dipertimbangkan. Masalah kelangkaan kapital yang seringkali menjadi kendala pengembangan agribisnis memerlukan kebijakan secara lebih hati-hati. Pemberian kredit yang murah seringkali justru dapat berakibat buruk bagi perkembangan kegiatan usaha dalam jangka panjang, jika tidak diikuti dengan upaya-upaya pengendalian yang baik. Alternatif yang dinilai lebih sesuai adalah dengan mengembangkan koperasi agribisnis yang menyediakan fasilitas kredit yang mudah, yaitu kredit yang memiliki kemudahan dalam perolehannya, kesesuaian dalam jumlah, waktu serta metode peminjaman dan pengembaliannya. Disamping itu pemberian kredit tersebut perlu di atur sedemikian sehingga kemungkinan reinvestasi dan keberhasilan usaha dapat lebih terjamin. Dalam hal ini bentuk supervised credit dapat menjadi alternatif model pemberian kredit. Banyak contoh sukses koperasi kredit di bidang agribisnis yang kuat dan besar, seperti Credit Agricole di Perancis, Rabobank di Belanda, dan lain-lain. Pengembangan agribisnis dengan agro-industri perdesaan juga perlu didukung oleh kelembagaan yang sesuai, mengingat kerakteristiknya yang sangat beragam. Dalam kelembagaan usaha tersebut misalnya, perlu dikaji kombinasi optimal dari penguasaan dan pemanfaatan skala usaha dengan efisiensi unit usaha, sesuai dengan sifat kegiatan yang dilakukan. Salah satu contoh, jika kegiatan agroindustri memang akan lebih efisien apabila dilakukan dalam skala yang relatif kecil, maka pengembangan kegiatan usaha individual perlu didorong. Akan tetapi untuk kegiatan pengangkutan yang memerlukan skala kegiatan yang lebih besar, perlu dipertimbangkan suatu unit kegiatan yang sesuai pula. Dengan demikian, dimungkinkan terjadinya kondisi dimana kegiatan agroindustri dilakukan secara individual (tidak harus dipaksakan berada dalam unit kegiatan koperasi misalnya), tetapi para agroindustriawan tersebut bersama-sama membentuk koperasi, atau unit usaha koperasi dalam bidang pengangkutan. Hal-hal semacam memerlukan penelaahan lebih lanjut secara mendalam, dikaitkan dengan sosok spesifik unit  usaha yang dikembangkan dalam koperasi agribisnis tersebut. Oleh karena itu, dalam operasionalisasi pengembangan agribisnis/agroindustri di tingkat lokalita (kawasan perdesaan) akan dijumpai pula kondisi yang sangat beragam baik dari segi agroekosistem, sarana dan prasarana maupun kondisi sosial budayanya. Keragaman-keragaman tersebut jelas menghendaki rancang bangun kelembagaan yang mampu mengoptimalisasikan kinerja manajemen maupun teknologi. Dalam hal ini, beberapa contoh berkembangnya model-model kelembagaan agribisnis seperti SPAKU, KUBA, Desa Cerdas Teknologi, ULP2, Gerakan Kemitraan, Inkubator, Klinik Tani/Agribisnis, Asosiasiasosiasi Petani, pemanfaatan tenaga-tenaga perekayasa profesional yang berfungsi sebagai konsultan dan nara sumber, harus dipandang sebagai langkah esensial untuk mengakumulasikan modal sosial (social capital) yang harus terus-menerus didorong sebagai embrio dalam mewujudkan institutional building yang akan memperkokoh posisi tawar petani dalam agribisnis. Dalam pada itu, korporasi petani dalam bidang agribisnis telah menjadi wacana dan diskusi publik sebagai suatu institutional building. Pesan yang lebih menonjol adalah pada lingkungan petani perkebunan (khususnya tebu-gula di BUMN perkebunan) di Jawa Timur. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: Apakah pola BUMN perkebunan seyogyanya diprivatisasi menjadi swasta murni seperti kecenderungan yang ada, ataukah mengembangkan alternatif berupa korporasi masyarakat (petani) sebagai pemilik utama perkebunan tersebut? Banyak argumen yang membimbing kecenderungan rekonstruksi agribisnis tebu-gula tersebut, antara lain (a) besarnya biaya produksi kebun tebu, 60-70 persen, (b) memudarnya persenyawaan kepentingan antara subyek petani/rakyat, pemerintah/principal dan manajemen BUMN, (c) lemahnya reinvestasi baru yang dilakukan BUMN, (d) institusi korporasi dianggap paling tepat dalam penyelesaian asymetric power yang selama ini terjadi, (e) the best product hanya akan dihasilkan oleh the best community, (f) rigiditas pabrik dan fleksibilitas pilihan pemanfaatan lahan petani9. Korporasi masyarakat (petani agribisnis) pada dasarnya adalah perusahaan yang dimiliki oleh masyarakat (petani agribisnis). Korporasi masyarakat pada dasarnya akan menjadi kuat manakala memanfaatkan segenap social capital yang ada pada masyarakat tersebut. Contoh yang dikemukakan adalah pelajaran dari pengalaman empirik perusahaan American Crystal Sugar Company (ACSC) yang dibeli oleh 1300 petani pada tahun 1973 melalui NYSE senilai US$ 86 juta. Sejak saat itu, ACSC berkembang pesat, baik dalam areal, produksi, rendemen, kepemilikan petani, dan joint ventures10. Demikian pula, pelajaran yang dikembangkan di Malaysia dalam merestrukturisasi kepemilikan saham melalui skema Amanah Saham Nasional tampaknya dapat menjadi bahan pengkajian11.
9 Agus Pakpahan, 2004. Op cit. halaman 115
10 Agus Pakpahan, 2004. Op cit. halaman 116.
11 Arief, Sritua, 1997. Op cit. Halaman 208.
Mengembangkan kelembagaan-kelembagaan di atas sebagai landasan gerak pengembangan agribisnis bagi para petani di perdesaan bukanlah merupakan hal yang mudah dan sederhana. Dibutuhkan dukungan kebijakan pemihakan yang lebih kuat, tidak cenderung berorientasi kepada yang kuat, tetapi lebih kepada yang lemah dan yang kurang berdaya (the under privileged). Kebijakan yang bersifat “netral” saja tidak cukup dalam pembangunan pertanian dan agribisnis, karena dibutuhkan pemahaman dan kepedulian akan masalah yang dihadapi oleh rakyat (petani) yang merupakan bagian terbesar di lapisan bawah. Untuk itu, pemerintahan memang harus mampu mengatasi hambatan psikologis, karena seringkali birokrasi strata atas di banyak negara berkembang seperti Indonesia umumnya merupakan kelompok elit suatu bangsa, yang tidak selalu tanggap dan mudah menyesuaikan diri atau mengasosiasikan diri dengan rakyat yang miskin dan terbelakang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar