INSTITUTIONAL
BUILDING:
UPAYA MEMBERDAYAKAN PETANI
Upaya mewujudkan pembangunan pertanian
(agribisnis) masa mendatang adalah sejauh mungkin mengatasi masalah dan kendala
kritikal yang sampai sejauh ini belum mampu diselesaikan secara tuntas sehingga
memerlukan perhatian yang lebih serius. Satu hal yang sangat kritis adalah
bahwa meningkatnya produksi pertanian (agribisnis) selama ini belum disertai
dengan meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani secara signifikan. Petani
sebagai unit agribisnis terkecil belum mampu meraih nilai tambah yang rasional sesuai
skala usaha tani terpadu (integrated farming system). Oleh karena itu
persoalan membangun kelembagaan (institution) di bidang pertanian dalam
pengertian yang luas menjadi semakin penting, agar petani mampu melaksanakan
kegiatan yang tidak hanya menyangkut on farm bussiness saja, akan tetapi
juga terkait erat dengan aspek-aspek off farm
agribussinessnya. Jika ditelaah,
walaupun telah melampaui masa-masa kritis krisis ekonomi nasional, saat ini
sedikitnya kita masih melihat beberapa kondisi yang dihadapi petani di dalam mengembangkan
kegiatan usaha produktifnya, yaitu:
_
Akses yang semakin kurang baik terhadap sumberdaya (access to resources),
seperti keterbatasan aset lahan, infrastruktur serta sarana dan prasarana
penunjang kegiatan produktif lainnya;
_
Produktivitas tenaga kerja yang relatif rendah (productive and remmunerative
employment), sebagai akibat keterbatasan investasi, teknologi, keterampilan
dan pengelolaan sumberdaya yang effisien;
_
Perasaan ketidakmerataan dan ketidakadilan akses pelayanan (access to
services) sebagai akibat kurang terperhatikannya rangsangan bagi tumbuhnya
lembagalembaga sosial (social capital)
dari bawah;
_
Kurangnya rasa percaya diri (self reliances), akibat kondisi yang
dihadapi dalam menciptakan rasa akan keamanan pangan, pasar, harga dan
lingkungan. Secara klasik sering diungkapkan bahwa penyebab utama ketimpangan
pendapatan dalam pertanian adalah ketimpangan pemilikan tanah. Hal ini adalah
benar, karena tanah tidak hanya dihubungkan dengan produksi, tetapi juga
mempunyai hubungan yang erat dengan kelembagaan, seperti bentuk dan birokrasi
dan sumber-sumber bantuan teknis, juga pemilikan tanah mempunyai hubungan
dengan kekuasaan baik di tingkat lokal maupun di tingkat yang lebih tinggi. Manfaat
dari program-program pembangunan pertanian di perdesaan yang datang dari “atas”
tampaknya hanya jatuh pada kelompok pemilik tanah, sebagai lapisan atas dari
masyarakat desa. Sebagai contoh, program kredit dengan jaminan tanah serta
bunga modal, subsidi paket teknologi produksi, bahkan kontrol terhadap distribusi
pengairan dan pasar lokal juga dilakukan oleh kelompok ini. Di lain pihak, pelaksanaan
perubahan seperti landreform, credit reform dan sebagainya yang
memang secara substansial diperlukan sebagai suatu cara redistribusi asset
masih merupakan isyu yang kurang populer. Berbagai langkah terobosan sebagai
suatu upaya kelembagaan guna memecahkan permasalahan di atas yang dikembangkan seperti pengembangan sistem usahatani
sehamparan, pola PIR dan sebagainya, sama sekali belum memecahkan problem substansial
yang oleh Boeke diungkapkan sebagai "dualisme". Dalam pada itu,
karakteristik perdesaan seringkali ditandai dengan pengangguran, produktifitas
dan pendapatan rendah, kurangnya fasilitas dan kemiskinan. Masalah-masalah pengangguran,
setengah pengangguran dan pengangguran terselubung menjadi gambaran umum dari
perekonomian saat ini. Pada waktu yang sama, terjadi pula produktifitas yang rendah
dan kurangnya fasilitas pelayanan penunjang. Rendahnya produktifitas merupakan ciri
khas di kawasan perdesaan. Pada umumnya, sebagian besar petani dan para
pengelola industri perdesaan, bekerja dengan teknologi yang tidak berubah.
Investasi modal pada masa sebelum krisis lebih banyak diarahkan pada industri
perkotaan daripada di sektor pertanian perdesaan. Sebagai konsekuensinya,
perbedaan produktifitas antara petani perdesaan dengan pekerja industri
perkotaan semakin besar senjangnya. Hal ini merupakan masalah yang banyak
dibicarakan dalam menyoroti ketimpangan antara perkotaan dan perdesaan,
pertania dan bukan pertanian. Pelayanan publik bagi adaptasi teknologi dan
informasi terutama untuk petani pada kenyataannya sering menunjukkan suasana
yang mencemaskan. Di satu pihak memang terdapat kenaikan produksi, tetapi di
lain pihak tidak dapat dihindarkan terjadinya
pencemaran
lingkungan, terlemparnya tenaga kerja ke luar sektor pertanian yang tidak tertampung
dan tanpa keahlian/ketrampilan lain, ledakan hama karena terganggunya keseimbangan
lingkungan dan sebagainya. Manfaat teknologipun seringkali masih dirasakan lebih
banyak dinikmati pemilik aset sumberdaya (tanah) sehingga pada gilirannya
justru menjadi penyebab utama dalam mempertajam perbedaan pendapatan dan
mempercepat polarisasi dalam berbagai bentuk. Perasaan ketidak-amanan dan
kekurang-adilan akibat berbagai kebijakan dan kebocoran (misalnya kasus impor illegal,
dumping, pemalsuan dan ketiadaan saprotan, keracunan lingkungan,
jatuhnya harga saat panen dan lainnya) seringkali menjadi pelengkap rasa tidak
percaya diri (dan apatisme berlebihan) pada sebagian petani. Tinjauan holistik
dengan memperhatikan kondisi berbagai aspek kehidupan pertanian dan perdesaan
seperti diuraikan disini, menunjukkan bahwa inti esensi dari proses pembangunan
pertanian dan perdesaan adalah transformasi struktural masyarakat perdesaan dari
kondisi perdesaan agraris tradisional menjadi perdesaan berbasis ekologi
pertanian dengan pengusahaan bersistem agribisnis, yang menjadi inti dari
struktur ekonomi perdesaan yang terkait erat dengan sistem industri, sistem
perdagangan dan sistem jasa nasional dan global. Mencermati situasi di atas,
jelas sangat diperlukan upaya-upaya pengembangan agribisnis yang lekat dengan
peningkatan pemberdayaan (empowering) masyarakat agribisnis terutama skala
mikro dan kecil dalam suatu kebijakan yang “berpihak”. Keberpihakan kebijakan
semacam itu sangat (baca: mutlak) diperlukan untuk mengatasi berbagai kendala
dan tantangan pengembangan agribisnis yang berorientasi ekonomi kerakyatan,
keadilan, dan sekaligus meningkatkan daya saing dalam iklim “kebersamaan” pelaku-pelaku
ekonomi lainnya. Untuk itu, sebagai prasyarat keharusan diperlukan suatu iklim
kebijakan yang mendorong terbangunnya institusi (kelembagaan) yang mampu meningkatkan
posisi petani menjadi bagian dari suatu kebersamaan entitas bisnis, baik dalam
bentuk kelompok usaha bersama, koperasi, korporasi (community corporate) ataupun
shareholder. Upaya kelembagaan tersebut diyakini akan dapat menjadi
nilai (value) baru, semangat baru bagi petani untuk terutama dapat
melonggarkan keterbatasanketerbatasannya, seperti akses terhadap sumberdaya
produktif (terutama lahan), peningkatan produktivitas kerja, akses terhadap
pelayanan dan rasa keadilan, serta meningkatkan rasa percaya diri akan
lingkungan yang aman, adil dan transparan. Manifestasi dan implementasi dari
upaya kelembagaan tersebut pada dasarnya bukanlah mudah dan sederhana. Sebagai
suatu rules atau nilai dan semangat baru dalam pembangunan pertanian ke
depan, seyogyanya mengandung berbagai ciri pokok dan mendasar. Pertama, upaya
kelembagaan tersebut diharapkan menjadi pendorong terciptanya the same level
playing field bagi petani dan pelaku ekonomi lainnya, berdasarkan “aturan main”
yang fair, transparent, demokratis dan adil. Kedua, upaya kelembagaan
tersebut mampu mendorong peningkatan basis sumberdaya, produktivitas, efisiensi
dan kelestarian bagi kegiatan-kegiatan produktif pertanian, yang pada
gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.
KOPERASI
DAN KORPORASI AGRIBISNIS
Institutional building sebagai
prasyarat keharusan dalam pengembangan agribisnis yang bagian terbesar
pelakunya petani “kecil dan gurem” adalah bangun koperasi dan korporasi
agribisnis. Secara substansial, upaya kelembagaan tersebut pada dasarnya dapat dipandang
sebagai langkah menuju rekonstruksi ulang dalam penguasaan dan akses sumberdaya
produktif di bidang pertanian, terutama berkaitan dengan pengembangan agribisnis.
Koperasi lebih merupakan soft-step reconstruction, sementara korporasi
lebih merupakan rekonstruksi yang lebih “radikal”, atau hard-step
reconstruction. Bangun kelembagaan koperasi dipandang salah satu sosok yang
tepat, mengingat entitas tersebut berciri sebagai asosiasi (perkumpulan
orang/petani), badan usaha dan juga sebagai suatu gerakan (untuk melawan
penindasan ekonomi dan ketidakadilan sistem pasar). Sejarah koperasi di
Indonesia memang penuh dengan romantika sebagai akibat “terlampau kuatnya” dukungan pemerintah dalam kurun waktu yang
cukup lama, sehingga dalam banyak hal menjadikan sosok koperasi di Indonesia
sempat “kehilangan” jati dirinya. Di kalangan masyarakat sendiri, masih beragam
pendapat tentang eksistensi koperasi dalam sistem ekonomi Indonesia saat ini. Sebagian
apatis, sehingga memerlukan pengkajian ulang mengenai eksistensi
koperasi dalam sistem ekonomi Indonesia. Sebagian lain memandang koperasi
sebagai entitas yang perlu dikembangkan, walaupun seadanya saja.
Sementara itu, berbagai pendapat lain merasa penting untuk mengembangkan
koperasi sebagai sosok kelembagaan ekonomi yang kokoh bagi pemberdayaan
masyarakat8. Pendapat terakhir ini Arief, Sritua., 1997. Pembangunan dan
Ekonomi Indonesia: Pemberdayaan Rakyat dalam
Arus Globalisasi. CPSM, Bandung. meyakini bahwa koperasi sebagai
upaya kelembagaan dapat merupakan instrumen bagi upaya restrukturisasi ekonomi
pertanian, untuk mewujudkan keseimbangan dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi
pertanian. Ada dua argumen yang melandasi pendapat ini, yaitu (a) secara
kolektif, koperasi dapat menghimpun para pelaku ekonomi pertanian dalam menjual
produk-produk yang dihasilkannya dengan posisi tawar yang baik, dan (b) koperasi
secara organisasi dapat menjadi wadah yang bertanggungjawab bagi kebutuhan pengadaan
saprotan maupun kebutuhan lain secara bertanggungjawab pula. Walaupun demikian,
ke depan, usaha-usaha untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi bagi
pengembangan agribisnis di perdesaan tahap awal tetap masih membutuhkan “ulur
tangan” (kebijakan pemihakan) pemerintah secara langsung, akan tetapi dengan pengertian
bentuk “ulur tangan” pemerintah tersebut harus ditempatkan dalam upaya pengembangan
iklim berusaha yang sesuai. Misalnya, pengembangan program dan metoda penyuluhan
pertanian yang diarahkan kepada upaya pengembangan orientasi dan kemampuan
kewirausahaan, yang lebih mencakup substansi manajemen usaha dan penyesuaian
terhadap materi-materi di bidang produksi dan pemasaran. Dalam hubungan ini maka
pola magang dan sistem pencangkokan manajer dapat menjadi alternatif yang dipertimbangkan.
Masalah kelangkaan kapital yang seringkali menjadi kendala pengembangan agribisnis
memerlukan kebijakan secara lebih hati-hati. Pemberian kredit yang murah seringkali
justru dapat berakibat buruk bagi perkembangan kegiatan usaha dalam jangka panjang,
jika tidak diikuti dengan upaya-upaya pengendalian yang baik. Alternatif yang dinilai
lebih sesuai adalah dengan mengembangkan koperasi agribisnis yang menyediakan fasilitas
kredit yang mudah, yaitu kredit yang memiliki kemudahan dalam perolehannya, kesesuaian
dalam jumlah, waktu serta metode peminjaman dan pengembaliannya. Disamping itu
pemberian kredit tersebut perlu di atur sedemikian sehingga kemungkinan
reinvestasi dan keberhasilan usaha dapat lebih terjamin. Dalam hal ini bentuk supervised
credit dapat menjadi alternatif model pemberian kredit. Banyak contoh
sukses koperasi kredit di bidang agribisnis yang kuat dan besar, seperti Credit
Agricole di Perancis, Rabobank di Belanda, dan lain-lain. Pengembangan
agribisnis dengan agro-industri perdesaan juga perlu didukung oleh kelembagaan
yang sesuai, mengingat kerakteristiknya yang sangat beragam. Dalam kelembagaan
usaha tersebut misalnya, perlu dikaji kombinasi optimal dari penguasaan dan pemanfaatan
skala usaha dengan efisiensi unit usaha, sesuai dengan sifat kegiatan yang dilakukan.
Salah satu contoh, jika kegiatan agroindustri memang akan lebih efisien apabila
dilakukan dalam skala yang relatif kecil, maka pengembangan kegiatan usaha
individual perlu didorong. Akan tetapi untuk kegiatan pengangkutan yang
memerlukan skala kegiatan yang lebih besar, perlu dipertimbangkan suatu unit
kegiatan yang sesuai pula. Dengan demikian, dimungkinkan terjadinya kondisi
dimana kegiatan agroindustri dilakukan secara individual (tidak harus dipaksakan
berada dalam unit kegiatan koperasi misalnya), tetapi para agroindustriawan
tersebut bersama-sama membentuk koperasi, atau unit usaha koperasi dalam bidang
pengangkutan. Hal-hal semacam memerlukan penelaahan lebih lanjut secara mendalam,
dikaitkan dengan sosok spesifik unit usaha
yang dikembangkan dalam koperasi agribisnis tersebut. Oleh karena itu, dalam
operasionalisasi pengembangan agribisnis/agroindustri di tingkat lokalita
(kawasan perdesaan) akan dijumpai pula kondisi yang sangat beragam baik dari
segi agroekosistem, sarana dan prasarana maupun kondisi sosial budayanya. Keragaman-keragaman
tersebut jelas menghendaki rancang bangun kelembagaan yang mampu
mengoptimalisasikan kinerja manajemen maupun teknologi. Dalam hal ini, beberapa
contoh berkembangnya model-model kelembagaan agribisnis seperti SPAKU, KUBA,
Desa Cerdas Teknologi, ULP2, Gerakan Kemitraan, Inkubator, Klinik
Tani/Agribisnis, Asosiasiasosiasi Petani, pemanfaatan tenaga-tenaga perekayasa
profesional yang berfungsi sebagai konsultan dan nara sumber, harus dipandang
sebagai langkah esensial untuk mengakumulasikan modal sosial (social
capital) yang harus terus-menerus didorong sebagai embrio dalam mewujudkan institutional
building yang akan memperkokoh posisi tawar petani dalam agribisnis. Dalam
pada itu, korporasi petani dalam bidang agribisnis telah menjadi wacana dan diskusi
publik sebagai suatu institutional building. Pesan yang lebih menonjol
adalah pada lingkungan petani perkebunan (khususnya tebu-gula di BUMN
perkebunan) di Jawa Timur. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: Apakah
pola BUMN perkebunan seyogyanya diprivatisasi menjadi swasta murni
seperti kecenderungan yang ada, ataukah mengembangkan alternatif berupa
korporasi masyarakat (petani) sebagai pemilik utama perkebunan tersebut?
Banyak argumen yang membimbing kecenderungan rekonstruksi agribisnis tebu-gula
tersebut, antara lain (a) besarnya biaya produksi kebun tebu, 60-70 persen, (b)
memudarnya persenyawaan kepentingan antara subyek petani/rakyat, pemerintah/principal
dan manajemen BUMN, (c) lemahnya reinvestasi baru yang dilakukan BUMN, (d)
institusi korporasi dianggap paling tepat dalam penyelesaian asymetric power
yang selama ini terjadi, (e) the best product hanya akan dihasilkan oleh
the best community, (f) rigiditas pabrik dan fleksibilitas pilihan pemanfaatan
lahan petani9. Korporasi masyarakat (petani agribisnis) pada dasarnya adalah
perusahaan yang dimiliki oleh masyarakat (petani agribisnis). Korporasi
masyarakat pada dasarnya akan menjadi kuat manakala memanfaatkan segenap social
capital yang ada pada masyarakat tersebut. Contoh yang dikemukakan adalah
pelajaran dari pengalaman empirik perusahaan American Crystal Sugar Company
(ACSC) yang dibeli oleh 1300 petani pada tahun 1973 melalui NYSE senilai US$ 86
juta. Sejak saat itu, ACSC berkembang pesat, baik dalam areal, produksi,
rendemen, kepemilikan petani, dan joint ventures10. Demikian pula, pelajaran
yang dikembangkan di Malaysia dalam merestrukturisasi kepemilikan saham melalui
skema Amanah Saham Nasional tampaknya dapat menjadi bahan pengkajian11.
9
Agus Pakpahan, 2004. Op cit. halaman 115
10
Agus Pakpahan, 2004. Op cit. halaman 116.
11
Arief, Sritua, 1997. Op cit. Halaman 208.
Mengembangkan
kelembagaan-kelembagaan di atas sebagai landasan gerak pengembangan agribisnis
bagi para petani di perdesaan bukanlah merupakan hal yang mudah dan sederhana.
Dibutuhkan dukungan kebijakan pemihakan yang lebih kuat, tidak cenderung berorientasi
kepada yang kuat, tetapi lebih kepada yang lemah dan yang kurang berdaya (the
under privileged). Kebijakan yang bersifat “netral” saja tidak cukup
dalam pembangunan pertanian dan agribisnis, karena dibutuhkan pemahaman dan
kepedulian akan masalah yang dihadapi oleh rakyat (petani) yang merupakan
bagian terbesar di lapisan bawah. Untuk itu, pemerintahan memang harus mampu
mengatasi hambatan psikologis, karena seringkali birokrasi strata atas di
banyak negara berkembang seperti Indonesia umumnya merupakan kelompok elit
suatu bangsa, yang tidak selalu tanggap dan mudah menyesuaikan diri atau mengasosiasikan
diri dengan rakyat yang miskin dan terbelakang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar