Halaman

Rabu, 07 Januari 2015

Tulisan Etika Profesi: GCG (Good Corporate Governance)

Nama : Mukhlasin
Npm : 25211028
Kelas : 4EB10
 
Pengertian Good Corporate Governance Menurut Para Ahli
Ada berbagai pengertian Good Corporate Governance yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
  • Corporate governance merupakan seperangkat tata hubungan diantara manajemen perseroan, direksi, komisaris, pemegang saham dan para pemangku kepentingan lainnya. (OECD dalam Leo J. Susilo dan Karlen Simarmata, 2007:17)
  • Corporate governance sebagai proses dan struktur yang diterapkan dalam menjalankan perusahaan, dengan tujuan utama meningkatkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders yang lain. (IICG dalam G. Suprayitno, et all, 2004:18)
  • Corporate governance adalah suatu konsep yang menyangkut struktur perseroan, pembagian tugas, pembagian kewenangan dan pembagian beban tanggung jawab dari masing-masing unsur yang membentuk struktur perseroan, dan mekanisme yang harus ditempuh oleh masing-masing unsur dari perseroan tersebut, serta hubungan-hubungan antara unsur-unsur dari struktur perseroan itu mulai dari RUPS, direksi, komisaris, juga mengatur hubungan-hubungan antara unsur-unsur dari struktur perseroan dengan unsur-unsur di luar perseroan yang pada hakekatnya merupakan stakeholders dari perseroan, yaitu negara yang sangat berkepentingan akan perolehan pajak dari perseroan yang bersangkutan, dan masyarakat luas yang meliputi para investor publik dari perseroan itu (dalam hal perseroan merupakan perusahaan publik), calon investor, kreditor dan calon kreditor perseroan. Corporate governance adalah suatu konsep yang luas. (Sutan Remy Sjahdeini, 1999:1)
  • Good Corporate Governance adalah suatu tata kelola bank yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness). (Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum).
Berdasarkan uraian mengenai corporate governance tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Good Corporate Governance adalah suatu sistem pengelolaan perusahaan yang dirancang untuk meningkatkan kinerja perusahaan, melindungi kepentingan stakeholders dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan serta nilai-nilai etika yang berlaku secara umum.
Prinsip-prinsip Good Corporate Governance
Dalam praktik corporate governance berbeda disetiap negara dan perusahaan karena berkaitan dengan sistem ekonomi, hukum, struktur kepemilikan, sosial dan budaya. Perbedaan praktik ini menggambarkan perbedaan dalam kekuatan suatu kontrak, sikap politik pemilik saham dan hutang. Dengan demikian beberapa aturan, pedoman, atau prinsip yang digunakan dalam pelaksanaan corporate governance juga akan berbeda (G. Suprayitno, et all, 2000:18). Konsentrasi kepemilikan, ukuran perusahaan, dan jenis perusahaan akan mempengaruhi kualitas implementasi Good Corporate Governance perusahaan (Deni Darmawati, 2006). Selain itu, pelaksanaan prinsip-prinsip dasar GCG harus mempertimbangkan karakter setiap perusahaan seperti besarnya modal, pengaruh dari kegiatannya terhadap masyarakat dan lain sebagainya. (Wilson Arafat, 2008:9)
Prinsip-prinsip mengenai corporate governance memiliki banyak versi, namun pada dasarnya mempunyai banyak kesamaan. Untuk penelitian ini prinsip-prinsip Good Corporate Governance yang digunakan adalah prinsip-prinsip yang dikenal sebagai “TARIF” (transparency, accountability, responsibility, independency, fairness).
Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 bagian penjelasan umum memberikan definisi prinsip-prinsip GCG sebagai berikut:
“Pertama transparansi (transparency) diartikan sebagai keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang materil dan relevan serta keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan. Kedua, akuntabilitas (accountability) yaitu kejelasan fungsi dan pertangungjawaban bank sehingga pengelolaannya berjalan efektif. Ketiga, pertanggungjawaban (responsibility) yaitu kesesuaian pengelolaan bank dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip pengelolaan bank yang sehat. Keempat, independensi (independency) yaitu pengelolaan bank secara profesional tanpa pengaruh/tekanan dari pihak manapun. Kelima, kewajaran (fairness) yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Pedoman Good Corporate Governance Perbankan Indonesia (2004) yang dikeluarkan Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) mempaparkan mengenai arti dari kelima prinsip tersebut, yakni:
“Sebagai lembaga intermediasi dan lembaga kepercayaan, dalam melaksanakan kegiatan usahanya harus menganut prinsip keterbukaan (transparency), memiliki ukuran kinerja dari semua jajaran bank berdasarkan ukuran-ukuran yang konsisten dengan corporate value, sasaran usaha dan strategi bank sebagai pencerminan akuntabilitas bank (accountability), berpegang pada prudential banking practices dan menjamin dilaksanakannya ketentuan yang berlaku sebagai wujud tanggung jawab bank (responsibility), objektif dan bebas dari tekanan pihak manapun dalam pengambilan keputusan (independency), serta senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh stakeholders berdasarkan azas kesetaraan dan kewajaran (fainess)”.
Pedoman tersebut merinci konsepsi dari kelima prinsip GCG, yakni:
1. Keterbukaan (Transparency) 
a. Bank harus mengungkapkan infomasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh stakeholders sesuai dengan haknya.
b. Informasi yang harus diungkapkan meliputi tetapi tidak terbatas pada hal-hal yang bertalian dengan visi, misi, sasaran usaha, dan strategi perusahaan, kondisi keuangan, susunan dan kompensasi pengurus, pemegang saham pengendali, cross shareholding, pejabat eksekutif, pengeloaan risiko (risk management), sistem dan pelaksanaan GCG serta keterjadian penting yang dapat mempengaruhi kondisi bank.
c. Prinsip keterbukaan yang dianut oleh bank tidak mengurangi kewajiban untuk memenuhi ketentuan rahasia bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, rahasia jabatan, dan hak-hak pribadi.
d. Kebijakan bank harus tertulis dan dikomunikasikan kepada pihak yang berkepentingan (stakeholders) dan yang berhak memperoleh informasi tentang kebijakan tersebut.
2. Akuntabilitas (Accountability) 
a. Bank harus menetapkan tanggung jawab yang jelas dari masing-masing organ organisasi yang selaras dengan visi, misi, sasaran usaha dan strategi perusahaan.
b. Bank harus meyakini bahwa semua organ organisasi bank mempunyai kompetensi sesuai dengan tanggung jawabnya dan memahami perannya dalam pelaksanaan GCG.
c. Bank harus memastikan terdapatnya check and balance system dalam pengelolaan bank.
d. Bank harus memiliki ukuran kinerja dari semua jajaran bank berdasarkan ukuran-ukuran yang disepakati konsisten dengan nilai perusahaan (corporate values), sasaran usaha dan strategi bank serta memiliki reward and punishment system.
3. Tanggung Jawab (Responsibility)
a. Untuk menjaga kelangsungan usahanya, bank harus berpegang pada prinsip kehati-hatian (prudential banking practices) dan menjamin dilaksanakannya ketentuan yang berlaku.
b. Bank harus bertindak sebagai good corporate citizen (warga perusahaan yang baik) termasuk peduli terhadap lingkungan dan melaksanakan tanggung jawab sosial.
4. Independensi (Independency) 
a. Bank harus menghindari terjadinya dominasi yang tidak wajar oleh stakeholder manapun dan tidak terpengaruh oleh kepentingan sepihak serta bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest).
b. Bank dalam mengambil keputusan harus objektif dan bebas dari segala tekanan dari pihak manapun.
5. Kewajaran (Fainess) 
a. Bank harus senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh stakeholders berdasarkan azas kesetaraan dan kewajaran (equal treatment).
b. Bank harus memberikan kesempatan kepada seluruh stakeholders untuk memberikan masukan dan menyampaikan pendapat bagi kepentingan bank serta mempunyai akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip keterbukaan. 
Menurut Christian Herdinata (2008), prinsip-prinsip GCG memegang peranan penting, antara lain:
1. Pemenuhan informasi penting yang berkaitan dengan kinerja suatu perusahaan sebagai bahan pertimbangan bagi para pemegang saham atau calon investor untuk menanamkan modalnya;
2. Perlindungan terhadap kedudukan pemegang saham dari penyalahgunaan wewenang dan penipuan yang dapat dilakukan oleh direksi atau komisaris perusahaan;
3. Perwujudan tanggung jawab perusahaan untuk mematuhi dan menjalankan setiap aturan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan di negara asalnya atau tempatnya berdomisili secara konsisten, termasuk peraturan dibidang lingkungan hidup, persaingan usaha, ketenagakerjaan, perpajakan, perlindungan konsumen, dan sebagainya.
Good Corporate Governance akan memberikan empat manfaat besar (Wilson Arafat, 2008:10), yaitu:
1. Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan serta lebih meningkatkan pelayanan kepada stakeholders.
2. Meningkatkan corporate value.
3. Meningkatkan kepercayaan investor.
4. Pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan karena sekaligus akan meningkatkan shareholder’s value dan dividen.
Pedoman Good Corporate Governance
Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), GCG diperlukan untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan dan konsisten dengan peraturan perundang-undangan. Penerapan GCG perlu didukung oleh tiga pilar yang saling berhubungan, yaitu negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha. Prinsip dasar yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pilar adalah: 
1. Negara dan perangkatnya menciptakan peraturan perundang-undangan yang menunjang iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan, melaksanakan peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum secara konsisten (consistent law enforcement).
2. Dunia usaha sebagai pelaku pasar menerapkan GCG sebagai pedoman dasar pelaksanaan usaha. 
3. Masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha serta pihak yang terkena dampak dari keberadaan perusahaan, menunjukkan kepedulian dan melakukan kontrol sosial (social control) secara obyektif dan bertanggung jawab.
Stijn Claessen dan Charles P. Oman sebagaimana dikutip oleh Leo J. Susilo dan Karlen Simarmata (2007:15) melihat bahwa corporate governance mempunyai dua aspek:
1. Aspek pertama berkaitan dengan pola hubungan dan perilaku aktor dalam perseroan. Perilaku manajemen dengan karyawan; perilaku perseroan dengan pemasok, dengan kreditor, dan lain-lain. Indikator yang digunakan untuk melihat bagaimana perilaku ini memberikan manfaat adalah bagaimanakah tingkat efisiensi perusahaan, bagaimanakah kinerja perusahaan, pertumbuhan, perlakuan kepada pemegang saham dan pemangku kepentingan, dan lain-lain. Aspek ini disebut aspek perilaku korporasi dan sasarannya adalah peningkatan kinerja (performance).
2. Aspek kedua berkaitan dengan seperangkat peraturan dan norma yang membentuk perilaku di atas. Hal ini meliputi hukum perusahaan, peraturan perundang-undangan lainnya, standar dan norma, seperti kode etik profesi, pedoman etika korporasi, dan lain-lain. Semua ini disebut aspek normatif dari corporate governance dan sasarannya adalah kepatuhan (comformance). 
Berdasarkan penjelasan di atas, maka diperlukan adanya perangkat hukum atau pedoman dalam mengimplementasikan Good Corporate Governance. Di Indonesia, pemerintah melalui Keputusan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri No. Kep/31/M.EKUIN/08/1999, telah membentuk suatu badan yang diberi nama Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG)). Komite Nasional ini bertugas untuk merumuskan dan merekomendasikan kebijakan nasional mengenai pengelolaan perusahaan. Komite Nasional ini telah merumuskan suatu Kerangka Kerja Good Corporate Governance atau Pedoman Good Corporate Governance.
Pedoman Good Corporate Governance yang dikeluarkan KNKCG telah beberapa kali disempurnakan, yakni pada tahun 2001 dan 2006. Berdasarkan pemikiran bahwa suatu sektor ekonomi tertentu cenderung memiliki karakteristik yang tidak sama, maka pada awal tahun 2004 dikeluarkan Pedoman GCG Perbankan Indonesia.
Untuk industri perbankan Indonesia saat ini terdapat tiga dokumen yang dapat dijadikan acuan penerapan GCG pada bank umum. (Leo J. Susilo dan Karlen Simarmata, 2007:76). Sesuai dengan tahun terbitnya, ketiga dokumen tersebut adalah:
1. “Enhanching Corporate Governance for Banking Organization” yang diterbitkan pertama kali tahun 1999 oleh Basel Committee on Banking Supervisoion, Bank for International Settlement, dan direvisi pada bulan Februari 2006;
2. “Pedoman Good Corporate Governance Perbankan Indonesia” yang diterbitkan oleh Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) pada bulan Januari 2004;
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/14/PBI/2006 tentang perubahan PBI No. 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum, yang dikeluarkan pada tanggal 30 Januari dan 5 Oktober 2006.
Pedoman dari Basel Committee bersifat imperatif secara moral, karena anggota Bank for International Settlement (BIS) adalah bank-bank sentral dari berbagai negara, termasuk Bank Indonesia. Pedoman dari KNKCG bersifat sukarela dan tidak mempunyai sifat mengikat maupun imperative bagi bank umum serta berfungsi sebagai acuan saja. Sedangkan pedoman penerapan GCG yang diterbitkan Bank Indonesia selaku otoritas pengawas bank di Indonesia mempunyai kekuatan mengikat secara hukum. 
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia tersebut maka Bank Umum wajib melaksanakan GCG. Apabila tidak dipatuhi akan dikenakan sanksi. Namun, sekiranya pedoman tersebut bukan dianggap sebagai tempelan saja, sekedar untuk memenuhi persyaratan seperti yang diunggapkan oleh Wilson Arafat (2008:37) bahwa perbankan masih memandang GCG sebatas beban yang merepotkan alias regulation as barrier, sama sekali tidak menyambut GCG sebagai sebuah keniscayaan. Padahal GCG bukan sekedar proses dan prosedur control ataupun peraturan ‘mati’ an sich. Lebih dari semua itu pelaksanaan GCG sejati adalah merupakan sebuah produk budaya perusahaan.
Hal lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah penyelarasan dari prinsip-prinsip yang dituangkan dalam pedoman-pedoman GCG di atas dengan kebijakan manajemen (management policy) dan pedoman operasional (standard operating procedures) lain (Leo J. Susilo dan Karlen Simarmata, 2007:24). Selain itu, perusahaan dapat membuat Code of Corporate and Business Conduct sebagai pedoman bagi seluruh karyawan dan pimpinan perusahaan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari (Muh. Arief Effendi, 2005). Wujudnya berupa kodifikasi kebijakan perusahaan, peraturan pegawai, dan kesepakatan yang telah dibuat bersama antara perusahaan dengan pegawai yang harus dijadikan pedoman sewaktu menjalankan aktivitas perusahaan sesuai dengan prinsip-prinsip GCG. (Wilson Arafat, 2008:36)
Leo J. Susilo dan Karlen Simarmata (2007:136) mengemukakan bahwa terdapat tiga kelompok pelaku kegiatan dalam pelaksanaan GCG pada bank umum. Kelompok pertama terdiri dari organ perseroan dan organ pendukung, atau secara sederhana disebut boards. Kelompok ini terdiri dari RUPS, Direksi, Komisaris, Komite Audit, Komite Nominasi dan Renumerasi, Komite Pemantau Risiko, komite lainnya dari komisaris, bila ada dan Satuan Kerja Audit Intern atau Satuan Pengawas Intern. Sedangkan kelompok kedua merupakan seluruh jajaran karyawan atau disebut sebagai enterprise-wide, yang menjadi sarana Direksi untuk melaksanakan tugas pengelolaan perusahaan. Kelompok ketiga adalah pihak luar atau stakeholders, yaitu regulator, nasabah, dan lain sebagainya yang berinteraksi dengan baik.
Ketiga kelompok pelaku di atas terlibat dalam berbagai aktivitas pelaksanaan GCG untuk memastikan:
1. Kepatuhan (Compliance) terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setiap kebijakan corporate governance atau kebijakan perusahaan harus mengacu dan tunduk pada berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku (regulatory driven).
2. Kesesuaian (Comformance) antara berbagai kebijakan corporate governance termasuk pedoman etika usaha dan etika kerja dengan kebijakan manajemen dan berbagai prosedur kerja yang diberlakukan dalam rangka menggerakkan proses bisnis perusahaan. Dalam proses ini, terjadi internalisasi prinsip-prinsip GCG dan nilai-nilai etika kedalam proses bisnis maupun sikap kerja sehari-hari yang pada gilirannya akan muncul suatu budaya GCG dalam perusahaan (ethics driven).
3. Pencapaian kinerja (Performance), baik itu kinerja perusahaan, unit bisnis, departemen, seksi dan seluruh jajaran baik secara kolektif maupun perorangan mulai dari level Komisaris, Direksi, sampai kepada karyawan level paling terendah (market driven).
Kekhususan Good Corporate Governance pada Bank
Secara sepintas nampaknya penerapan GCG di bank umum tidak berbeda dengan perusahaan lainnya, akan tetapi tidaklah demikian halnya. Good Corporate Governance pada lembaga keuangan, khususnya bank memiliki keunikan bila dibandingkan governace pada lembaga keuangan non bank. Dalam banyak perilaku manajer dan pemilik bank merupakan faktor utama yang memerlukan perhatian dalam penerapan GCG. Dalam banyak hal konsep teori keagenan (agency theory) yang sering digunakan dalam penerapan GCG tidak sepenuhnya dapat digunakan dalam industri perbankan.
Ross Levine sebagaimana dikutip oleh Leo J. Susilo dan Karlen Simarmata (2007:63) menyatakan bahwa bank pada dasarnya mempunyai dua ciri khas yang tidak terdapat pada jenis industri lainnya yaitu:
1. Informasi Asimetri dalam Industri Perbankan
Informasi yang asimetri pada industri perbankan mempunyai dimensi dan kompleksitas yang lebih tinggi dari industri lainnya. Asimetri ini terjadi diantara deposan, manajer bank, pengurus bank, debitor, pemilik/pemegang saham, bank dan regulator. Semakin besar informasi asimetri antara pihak luar bank dan pihak dalam bank, maka akan semakin sulit bagi pihak luar untuk memonitor kinerja governance bank. Hal ini menjadi semakin sulit karena deposan dan debitor yang sangat banyak jumlahnya dan tersebar (diffuse). Bila jumlah pemegang saham juga banyak dan tersebar, maka kompleksitasnya akan semakin bertambah. Bila terdapat pemegang saham pengendali yang dominan, pengendalian manajemen akan lebih mudah, akan tetapi juga terdapat bahaya adanya misconduct, fraud atau penyalahgunaan bank dan dana masyarakat untuk kepentingan pribadi atau kelompok usahanya. Informasi keuangan yang asimetri ini adalah sumber risiko yang tinggi, baik risiko kredit, risiko operasional maupun risiko hukum serta menjadi salah satu sumber utama terjadinya kejahatan perbankan.
2. Peran Regulasi dalam Corporate Governance Perbankan
Peran regulator dalam industri perbankan adalah melakukan kebijakan pengaturan dan pengawasan untuk mewujudkan stabilitas ekonomi nasional yang berkelanjutan melalui sistem kelembagaan perbankan yang lebih kuat, efisien dan bermanfaat. Aturan corporate governance dalam industri umumnya bersifat sukarela (voluntary) dan tidak mencampuri urusan proses governance perusahaan tersebut. Dalam industri perbankan regulasi yang ada mempengaruhi proses governance bank secara langsung dan merupakan hal yang harus dipatuhi, karena dinyatakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Pelanggaran terhadap regulasi tersebut merupakan pelanggaran kepatuhan dan mempunyai ancaman sanksi hukum.
Penerapan GCG perbankan dianggap unik karena memiliki karakteristik yang berbeda dengan perusahaan keuangan jenis lain maupun perusahaan non keuangan. Keunikan perbankan terutama dilihat dari neraca yaitu aset perbankan rata-rata adalah kredit yang sebagian besar bersifat jangka panjang, sedangkan sisi liabilities adalah tabungan dan deposito yang memiliki sifat jangka pendek. Pengelolaan yang tidak hati-hati akan menyebabkan terjadinya mismatch antara aktiva dan pasiva. Terjadinya mismatch dapat menyebabkan pembukuan negatif bagi bank. Penyaluran kredit kepada pihak terkait dapat bersifat positif jika keterkaitan itu meminimkan risiko dan sebaliknya akan bersifat negatif jika justru menambah risiko gagal bayar akibat terjadinya moral hazard. Bagaimanapun, GCG menjadi kental ketika ada persinggungan kepentingan antara pemilik dan manajemen. (Rofikoh Rokhim, 2006)
Implementasi Good Corporate Governance
Dalam pelaksanaan GCG di perbankan adalah penting bagi perbankan untuk melakukan pentahapan yang cermat berdasarkan analisis atas situasi dan kondisi bank, dan tingkat kesiapannya, sehingga penerapan GCG dapat berjalan lancar dan mendapatkan dukungan dari seluruh unsur di dalam bank. 
Pedoman GCG Perbankan Indonesia menguraikan bahwa pengaturan dan implementasi GCG memerlukan komitmen dari top management dan seluruh jajaran organisasi. Pelaksanaannya dimulai dari penetapan kebijakan dasar (strategic policy) dan kode etik yang harus dipatuhi oleh semua pihak dalam perusahaan. Bagi perbankan Indonesia, kepatuhan terhadap kode etik yang diwujudkan dalam satunya kata dan perbuatan, merupakan faktor penting sebagai landasan penerapan GCG. Adapun pedoman yang terdapat dalam Pedoman GCG Perbankan Indonesia, adalah sebagai berikut:
1. Pelaksanaan GCG dapat dilakukan melalui lima tindakan, yaitu:
a. Penetapan visi, misi dan corporate values
b. Penyusunan corporate governance structure
c. Pembentukan corporate culture
d. Penetapan sarana public disclousures
e. Penyempurnaan berbagai kebijakan bank sehingga memenuhi prinsip GCG
2. Penetapan visi, misi dan corporate values merupakan langkah awal yang harus dilaksanakan dalam penerapan GCG oleh suatu bank.
3. Corporate governance structure dapat diterapkan secara bertahap dan terdiri dari sekurang-kurangnya:
a. Kebijakan corporate governance yang selain memuat visi dan misi bank, juga memuat tekad untuk melaksanakan GCG dan pedoman-pedoman pokok penerapan prinsip GCG yaitu Transparency, Accountability, Responsibility, Independency dan Fairness.
b. Code of Conduct yang memuat pedoman perilaku wajar dan dapat dipercaya dari pimpinan dan karyawan bank.
c. Tata Tertib Kerja Dewan Komisaris dan Tata Tertib Kerja Direksi yang memuat hak dan kewajiban serta akuntabilitas dari Dewan Komisaris dan Direksi maupun para anggotanya masing-masing.
d. Organisasi yang di dalamnya tercermin adanya risk management, internal control dan compliance.
e. Kebijakan risk management, audit dan compliance.
f. Human resourse policy yang jelas dan transparan.
g. Corporate plan yang menggambarkan arah jangka panjang yang jelas.
4. Pembentukan corporate culture untuk memperlancar pencapaian visi dan misi serta implementasi corporate governance structure. Corporate culture terbentuk melalui penetapan prinsip dasar (guilding principles), nilai-nilai (values) dan norma-norma (norms) yang disepakati serta dilaksanakan secara konsisten dengan contoh konkrit dari pimpinan bank. Corporate culture perlu didiskusikan secara berkesinambungan dan ditunjang oleh social communication.
5. Pembentukan pola dan sasaran disclousure sangat diperlukan sebagai bagian dari akuntabilitas bank kepada stakeholders. Sarana disclousure dapat melalui laporan tahunan (annual report), situs internet (website), review pelaksanaan GCG dan sarana lainnya.
Ada pula tahapan penerapan GCG pada bank yang dikemukakan oleh Leo J. Susilo dan Karlen Simarmata (2007:141). Pentahapan tersebut diberi nama GCG (Good Corporate Governance), GGC (Good Governed Corporate) dan GCC (Good Corporate Citizen). Secara garis besar tahapan tersebut diilustrasikan pada skema 3.1 berikut ini: 
Skema Tahapan Penerapan GCG
Tahap GCG (Good Corporate Governance) 
Tujuan dari penerapan GCG pada tahap ini adalah memenuhi semua ketentuan penerapan GCG yang berlaku (compliance). sesuai dengan tujuan dari tahap ini maka aktivitas utamanya adalah penyusunan pedoman GCG sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kelengkapan struktur dan proses yang diminta.
Pedoman GCG yang harus disusun pada tahap ini pada dasarnya terdiri dari:
a. Pedoman Corporate governance yang meliputi:
  • Pedoman umum GCG untuk perusahaan (GCG Code)
  • Pedoman GCG untuk Direksi dan Komisaris (Board Manual)
  • Pedoman etika korporasi (Code of Conduct) termasuk aturan tentang benturan kepentingan.
b. Piagam untuk komite-komite yang diwajibkan, misalnya:
  • Komite Audit, Komite Pemantau Risiko, Komite Governance, Nominasi dan Renumerasi (Audit Charter, Risk Committee Charter, Governance and Nomination & Renumeration Committee Charter, etc.);
  • Pedoman untuk komite-komite eksekutif bila ada;
  • Pedoman untuk Satuan Kerja Auditor Intern/Satuan pengawasan Intern.
c. Kebijakan-kebijakan yang terkait dengan penerapan GCG dan prudential regulation, yang antara lain meliputi:
  • Kebijakan disclousure and transparency;
  • Kebijakan Manajemen Risiko;
  • Kebijakan Sistem Pengendalian Intern;
  • Kebijakan Pelaksanaan BMPK;
  • Kebijakan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah;
  • Kebijakan Kepatuhan (Compliance Policy).
Setelah pedoman GCG selesai disusun, maka aktivitas berikutnya dalam tahap GCG adalah melakukan sosialisasi implementasi awal. Sosialisasi dilakukan dengan metode top down approach, dimulai dari Direksi dan Komisaris. Ini perlu karena dalam banyak hal pembentukan tone at the top merupakan hal yang penting dalam pelaksanaan GCG. Khusus terkait dengan penerapan etika korporasi dan penegakan sistem pengendalian intern bank, maka unsur tone at the top mutlak diperlukan.
Untuk implementasi awal yang menjadi sasaran adalah pelaksanaan GCG pada tingkat organ perseroan dan organ pendukungnya. Sedangkan untuk prudential regulating haruslah disusun standar pelaksanaan operasionalnya (standar operating procedures) yang lebih rinci terlebih dahulu.
Setelah sosialisasi dan implementasi awal dilakukan maka perlu diadakan self assessment untuk menilai seberapa jauh pelaksanaan awal GCG telah berhasil. Apakah sudah sesuai rencana, ataukah masih menemui hambatan. Dengan mengetahui kondisi peta pelaksanaan awal GCG ini maka dapat dilakukan perbaikan seperlunya untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan GCG. Hasil self assessment ini juga harus dilaporkan ke Bank Indonesia, sebagaimana dituntut oleh PBI No. 8/14/PBI/2006 jo PBI No. 8/4/PBI/2006. 
Tahap GGC (Good Governed Corporate) 
Tujuan tahap ini adalah pelaksanaan prinsip-prinsip GCG pada semua proses bisnis dengan didukung oleh tersedianya pedoman perusahaan dari tingkat manajemen puncak hingga tingkat operasional. Melalui pelaksanaan yang lebih intensif, diharapkan secara perlahan tetapi pasti terbentuk “Budaya GCG” diseluruh jajaran perusahaan. Dengan demikian diharapkan “prudential banking” sudah menjadi second nature bagi seluruh karyawan bank. Tahap ini merupakan tahap terpanjang dan kritis dari pelaksanaan GCG pada bank.
Secara garis besar aktivitas pada tahap GCG adalah sebagai berikut:
a. Penyusunan buku pedoman perusahaan untuk semua kebijakan prudential regulation yang telah ditetapkan oleh Direksi bank dan diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip GCG;
b. Penyusunan buku pedoman perusahaan untuk semua kegiatan penunjang operasi perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip GCG;
c. Sosialisasi dan penerapan buku pedoman peruasahaan yang telah disusun secara bertahap hingga ke seluruh aspek operasional perusahaan;
d. Melakukan asesmen dan evaluasi berkala untuk meningkatkan efektifitas penerapan buku pedoman perusahaan sesuai dengan prinsip-prinsip GCG dan peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan sosialisasi dilakukan secara terbatas. Artinya pihak-pihak yang terkait langsung dengan proses bisnis tersebut wajib untuk memahami buku pedoman perusahaan tersebut. Oleh karena itu, mereka harus terlibat dengan intens dalam sosialiasasinya. Untuk pihak lain sosialisasi lebih didasarkan pada need to know basis saja dan tidak perlu ikut secara intens. Selama proses sosialisasi tersebut, pedoman etika korporasi dan asas prudential bank harus selalu dijadikan acuan proses, sehingga dalam pelaksanaan implementasinya nanti budaya GCG dapat betul-betul secara perlahan menjadi “second nature’.
Evaluasi dan self assessment secara berkala haruslah dilaksanakan sebagai sarana untuk mengukur kemajuan yang telah dicapai dan juga sekaligus untuk melakukan perbaikan serta peningkatan pelaksanaan GCG. Selain itu hasil dari evaluasi dan self assessment ini menjadi bahan untuk dilaporkan ke Bank Indonesia, sebagaimana diatur dalam PBI No. 8/14/PBI/2006 jo. PBI No. 8/4/PBI/2006. 
Tahap GCC (Good Corporate Citizen) 
Tahapan yang terakhir adalah GCG dimana perusahaan sudah menjadikan prinsip-prinsip GCG menjadi bagian dari budaya perusahaan. Salah satu ciri kegiatan penerapan GCG pada tahap ini adalah pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR). Melalui kegiatan ini perusahaan menjadi mampu membuat citra perusahaan menjadi perusahaan yang etis dan sekaligus mempunyai kinerja baik. Selain itu juga ikut berperan dalam penciptaan lingkungan sosial dan kehidupan masyarakat yang lebih baik, serta pelestarian lingkungan hidup. Dari aktivitas inilah perusahaan mendapatkan predikat sebagai Good Corporate Citizen.
Tahapan implementasi GCG yang diungkapkan oleh Wilson Arafat (2008:172) meliputi 5 langkah strategis yang dapat ditempuh untuk meretas dan meniti “The GCG Ways” sebagai berikut:
Langka I: Membangun Awareness 
Membangun awareness dapat dilakukan dengan mengadakan pelatihan (inhouse training) agar segenap jajaran dan jenjang organisasi di suatu perusahaan mendapat pemahaman dan pengetahuan utuh berkenaan dengan segala sesuatu tentang GCG. Efektivitas implementasi GCG tidak akan dapat tercapai dengan baik jika hal ini tidak terpenuhi. 
Langkah II: Membangun Manual 
Dengan bekal pengetahuan dan pemahaman yang utuh serta – yang terpenting – sangat menyadari keniscayaan implementasi GCG yang diperoleh dari pelatihan maka suatu perusahaan dapat melakukan workshop dengan fokus untuk membangun manual GCG. Manual GCG tersebut minimal telah mengakomodir semua ketentuan yang telah ditetapkan oleh lembaga otoritas yang mengatur industri yang bersangkutan. Tersedianya manual GCG bagi suatu perusahaan sangat diperlukan sebagai pedoman dasar ketika melaksanakan GCG di lapangan bagi semua tingkatan dan jenjang organisasi. 
Langka III: Benchmarking 
Untuk lebih meyakinkan bahwa Manual GCG yang telah dibuat suatu perusahaan telah sesuai dengan best practice maka harus dilakukan proses benchmarking. Tujuan benchmarking tersebut adalah untuk memahami dan mengevaluasi posisi dari bisnis yang dilakukan oleh suatu organisasi yang berhubungan dengan best practice dan untuk mengidentifikasi area-area yang dibutuhkan sehingga dapat dipahami dengan baik dalam upaya meningkatkan kinerja organisasi tersebut. 
Langka IV: Pengembangan Software 
Betapa sulit, rumit dan peliknya manajemen dan person yang menjadi koordinator implementasi GCG di suatu perusahaan ketika melakukan koordinasi, evaluasi dan monitoring terhadap pelaksanaan GCG tanpa bantuan sebuah tools, berupa software. Oleh karena itu, mengembangkan software untuk mendukung efektifitas implementasi GCG sangat dibutuhkan.
Keempat langkah di atas merupakan cara strategis untuk membangun sistem kontrol yang dapat ditempuh oleh suatu perusahaan di dalam mengimplementasikan GCG. 
Langkah V: Transformasi Budaya Kerja 
Dengan membangun sistem kontrol saja belum cukup untuk dapat mengimplementasikan GCG dengan baik. Oleh karena itu, harus dibumikan budaya kerja GCG. Singkat kata, harus dilakukan proses transformasi budaya kerja atau membumikan budaya kerja yang mengadopsi prinsip-prinsip GCG dengan cara berikut ini:
a. Melakukan paradigm shift dengan melaksanakan sembilan langkah transformasi budaya kerja perbankan, yang meliputi:
  • Terapi budaya kerja
  • Inventaris & kodifikasi nilai budaya kerja
  • Evaluasi dan analisis
  • Rumuskan nilai budaya kerja kunci
  • Tentukan “gap” budaya kerja
  • Uji sampel representatif
  • Tanamkan nilai budaya kerja baru
  • Lakukan pengendalian 
b. Membangun dan atau menetapkan Corporate Code of Conduct. Hal ini harus dilakukan karena kebutuhan implementasi harus membumi dan terukur. Salah satu caranya adalah melalui penyempurnaan dan implementasi Corporate Code of Conduct baik bagi board (komisaris dan direksi) maupun pegawai. Tujuan penyempurnaan dan implementasi Corporate Code of Conduct adalah membangun komitmen segenap jajaran perusahaan untuk mengaplikasikan GCG dalam mencapai keuntungan jangka panjang bagi perusahaan. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa untuk mewujudkan apa yang dipahami sebagai GCG ke dalam bentuk kongkret, suatu perusahaan perlu merumuskan dan menerapkan nilai-nilai etika berusaha sesuai dengan prinsip-prinsip GCG dan budaya perusahaan yang dimilikinya kedalam panduan etia alias Corporate Code of Conduct.
Kerangka Pikir
Aktivitas perbankan diharapkan dapat meningkatkan pemerataan dan pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah. Perbankan bukanlah komunitas yang terisolasi, namun merupakan komunitas terbuka yang berinteraksi dengan lingkungannya. Bank berinteraksi dengan masyarakat dan badan bisnis lain sebagai nasabah penyimpan dan peminjam, dan dengan pemerintah sebagai pemutus kebijakan dan peraturan yang harus diikutinya. Untuk itu, perbankan yang sehat dan kuat merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi.
Perbankan yang sehat dan kuat merupakan cita-cita kita semua dan untuk mewujudkannya diperlukan implementasi GCG. Implementasi GCG yang konsisten dan terpadu akan menyelaraskan hubungan antar-stakeholders dalam menentukan dan mengendalikan arah strategi dan kinerja perbankan. Good Corporate Governance menegaskan pentingnya prinsip-prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness) dipegang teguh dalam setiap tindakan dan perilaku organ perbankan sehari-hari.
Salah satu bank yang turut mewarnai dinamika perbankan nasional, Bank Pembangunan Daerah (BPD) Sultra juga mesti mengimplementasikan GCG. Implementasi GCG secara konsisten dan terpadu dapat meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan (BPD Sultra) dalam jangka panjang tanpa mengabaikan kepentingan stakeholders. Untuk itu, spirit kelima prinsip GCG haruslah menjadi cerminan dalam setiap aktivitas BPD Sultra beserta seluruh jajarannya. 
Dalam penelitian ini implementasi Good Corporate Governance pada Bank Pembangunan Daerah (BPD) Sultra akan dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif. Selanjutnya hasil analisis tersebut akan direkomendasikan pada Bank Pembangunan Daerah (BPD) Sultra. Adapun kerangka pemikiran yang dirancang dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Sumber :

Tulisan Etika Profesi: Kasus Kecurangan dalam Akuntansi

Nama : Mukhlasin
Npm : 25211028
Kelas : 4EB10
 
1. PT. INDOSAT TBK.
Pada laporan keuangan periode 2006, PT. Indosat melaporkan adanya kerugian sebesar Rp 438 miliar yang di klaim sebagai ”Rugi dari perubahan nilai wajar atas transaksi derivatif-bersih” (Loss on Change in Fair Value of Derivatifes-Net). Pengakuan atas kerugian ini muncul karena perusahaan tidak menerapkan PSAK sebagaimana mestinya.
Dalam PSAK no 55 ”Akuntansi Instrumen Derivatif dan Aktifitas Lindung Nilai” disebutkan bahwa transaksi derivatif mensyaratkan adanya dokumentasi formal atas analisa manajemen resiko dan analisa efektifitas transaksi jika ingin melindungi resiko dari transaksi derivatif ini. Selain itu suatu entitas diwajibkan pula untuk melaporkan setiap transaksi derivatif paling tidak setiap tiga bulan dalam laporan keuangan perusahaan.
Dalam surat yang ditujukan kepada manajemen Indosat (management letter) pada tahun 2004, 2005 dan 2006, auditor eksternal Indosat menyarankan pihak manajemen Indosat untuk segera membenahi kebijakan formal manajemen resiko yang berkaitan dengan transaksi derivatif yang dilakukan oleh Indosat sebesar US$ 275 juta atau sekitar Rp 2,5 trilliun. Transaksi derivatif ini meliputi 17 kontrak perjanjian dengan berbagai institusi keuangan.
Kasus ini memberikan contoh dari besarnya kerugian yang harus ditanggung oleh perusahaan di Indonesia diakibatkan tidak adanya analisa yang memadai terhadap transaksi derivatif yang akan dilakukan. Akibat kerugian ini pula negara kehilangan potensi pajak baik atas laba bersih perusahaan maupun atas deviden yang dibagikan.
 
2.SKANDAL YUNANI DAN GOLDMAN SACHS
Yunani melakukan transaksi cross-currency swaps dengan bank Goldman Sachs dimana utang pemerintah Yunani dalam dollar dan yen ditukar dengan euro dalam jangka waktu tertentu, lalu menukarnya kembali ke mata uang yang sesungguhnya di masa depan. Transaksi tersebut terkesan normal, karena pemerintah di Eropa memperoleh dana dari investor di seluruh dunia dengan menerbitkan obligasi dalam yen, dollar, atau franc Swiss. Namun, mereka tetap membutuhkan euro untuk membayar biaya harian mereka. Beberapa tahun kemudian, obligasi tersebut akan dibayarkan kembali dalam nilai mata uang asing yang sebenarnya. Namun, dalam transaksi antara Yunani dan Goldman Sachs digunakan swap dengan nilai kurs fiktif yang mampu membuat Yunani memperoleh dana yang lebih besar daripada nilai sesungguhnya sebesar 10 milyar dollar atau yen. Dengan cara itu, goldman sachs secara rahasia memberikan kredit sebesar 1 milyar dollar kepada Yunani. Kredit yang disamarkan sebagai swap tidak dimunculkan di dalam laporan utang milik Yunani. Hal ini dilakukan oleh Yunani untuk bertahan di dalam batas utang demi mempertahankan posisinya sebagai anggota Uni Eropa.
Meskipun Yunani mampu menyembunyikan utangnya, namun revisi oleh Eurostat pada akhirnya dapat mengungkapkan kondisi defisit Yunani yang sesungguhnya.


3. WorldCom
Perusahaan  telekomunikasi  terbesar  kedua  di Amerika  Serikat, mengakui  telah  Melakukan  skandal  akuntansi  yang  menyebabkan  perdagangan sahamnya  di  bursa  NASDAQ  terhenti.  Beberapa  minggu  kemudian,  WorldCom menyatakan diri bangkrut. Perusahaan telah memberi gambaran yang salah tentang kinerja perusahaan dengan  cara memalsukan milyaran  bisnis  rutin  sebagai belanja modal,  sehingga  labanya  overstated  sebesar $11 milyar pada awal 2002. Perusahaan juga meminjamkan uang lebih dari $400  juta kepada Chief Executive Officer (CEO)-nya  waktu,  Bernard  Ebbers,  untuk  menutupi  kerugian  perdagangan  pribadinya. Ironisnya  meski  di  dakwa  telah  melakukan  pemalsuan,  konspirasi  dan  laporan keuangan  yang  salah,  mantan  CEO WorldCom  tersebut  mengaku  tidak  bersalah (Mehta, 2003; Klayman, 2004; Reuters, 2004).
2.      Enron Corp 
Perusahaan  terbesar ke  tujuh di AS yang   bergerak di bidang industri  energi,  para manajernya  memanipulasi  angka  yang menjadi  dasar  untuk memperoleh kompensasi moneter yang   besar. Praktik kecurangan yang dilakukan antara  lain  yaitu di Divisi Pelayanan Energi,  para  eksekutif melebih-lebihkan nilai kontrak  yang  dihasilkan  dari  estimasi  internal.  Pada  proyek  perdagangan  luar negerinya  misal  di  India  dan  Brasil,  para  eksekutif  membukukan  laba  yang mencurigakan.  Strategi  yang  salah,  investasi  yang  buruk  dan  pengendalian keuangan  yang  lemah  menimbulkan  ketimpangan  neraca  yang  sangat  besar  dan harga  saham  yang dilebih-lebihkan. Akibatnya  ribuan  orang  kehilangan  pekerjaan dan  kerugian pasar milyaran dollar pada nilai pasar (Schwartz, 2001; Mclean, 2001). Kasus  ini  diperparah  dengan  praktik  akuntansi  yang  meragukan  dan  tidak independennya  audit  yang  dilakukan  oleh  Kantor  Akuntan  Publik  (KAP)  Arthur Andersen  terhadap  Enron.  Arthur  Anderson,  yang  sebelumnya  merupakan  salah satu  “The big  six”  tidak hanya melakukan memanipulasi  laporan keuangan Enron tetapi  juga  telah  melakukan  tindakan  yang  tidak  etis  dengan  menghancurkan dokumen-dokumen  penting  yang  berkaitan  dengan  kasus  Enron.  Independensi sebagai  auditor  terpengaruh  dengan  banyaknya  mantan  pejabat  dan  senior  KAP Arthur Andersen yang bekerja dalam department akuntansi Enron Corp. Baik Enron maupun  Anderson,  dua  raksasa  industri  di  bidangnya,  sama-sama  kolaps  dan menorehkan sejarah kelam dalam praktik akuntansi. 


4. PANIN BANK VS. PT MATAHARI PUSAKATAMA
Pada tanggal 23 September 1996, PT. Matahari Pusakatama menerima fasilitas pinjaman jangka panjang (PJP) dari Bank Panin sebesar Rp. 41,5 milyar dengan jangka waktu kredit 5 tahun disertai jaminan Hak Tanggungan peringkat pertama atas tiga bidang tanah berikut gedung Matahari Plaza senilai Rp. 41.499.999.911,­. Mengingat pendapatan sewa yang diperoleh dari Matahari Department Store adalah dalam mata uang US Dollar, PT. Matahari Pusakatama melihat peluang untuk meminimalkan beban bunga pinjaman rupiahnya melalui transaksi cross currency swap (swap). Tindakan tersebut lebih dikenal dengan istilah hedging, yaitu suatu upaya untuk melindungi risiko yang mungkin timbul di dalam suatu transaksi. 

Cross currency swap adalah kombinansi dari interest rate swap dan currency swap karena transaksi ini berkenaan dengan suku bunga dan nilai tukar. Interest rate swap adalah suatu perjanjian dimana suatu pihak (A) menyetujui dan mengikatkan dirinya untuk melakukan pembayaran secara berkala kepada pihak lain (B), dimana pembayaran ditentukan dengan merujuk pada suatu jumlah pokok tertentu yang disepakati para pihak untuk keperluan kalkulasi tersebut saja (notional amount/calculation amount) dan suku bunga tetap (fixed interest rate) atau mengambang (floating interest rate) dan sebaliknya B menyetujui dan mengikatkan diri untuk melakukan pembayaran secara berkala kepada pihak A, pembayaran mana ditentukan dengan merujuk pada jumlah pokok kalkulasi (notional amount/calculation amount) yang sama dan suku bunga mengambang (floating interest rate) atau tetap (fixed interest rate).

Currency swap adalah suatu perjanjian dimana suatu pihak (A) menyetujui dan mengikatkan diri untuk melakukan pembayaran secara berkala kepada pihak lain (B), dimana pembayaran ditentukan dengan merujuk pada suatu jumlah pokok tertentu yang disepakati para pihak untuk keperluan kalkulasi tersebut saja (notional amount/calculation amount) dalam mata uang tertentu dan suku bunga mengambang (floating interest rate) atau tetap (fixed interest rate), dan sebaliknya B menyetujui dan mengikatkan diri untuk melakukan pembayaran secara berkala kepada A, dimana pembayaran ditentukan dengan merujuk pada suatu jumlah pokok tertentu yang disepakati para pihak untuk keperluan kalkulasi tersebut saja (notional amount /calculation amount) dalam mata uang tertentu dan suku bunga mengambang (floating interest rate) atau tetap (fixed interest rate).

Pada tanggal 30 September 1996, PT. Matahari Pusakatama melakukan transaksi cross currency swap (tukar menukar valuta) dengan Bank Panin, dengan jumlah fasilitas sebesar US$ 17,9 juta dimana pembayaran dilakukan setiap 3 bulan sebesar Rp. 1 milyar ditambah bunga dengan pembayaran pokok pinjaman terakhir sebesar Rp. 22,5 milyar dan jatuh waktu fasilitas tersebut pada tanggal 30 September 2001. Transaksi cross currency swap ini merupakan salah satu bentuk dari transaksi derivatif, dimana transaksi cross currency swap ini berfungsi sebagai perlindungan terhadap adanya gejolak nilai tukar dan bunga antar dua mata uang yang berbeda.

Cross currency swap yang dilakukan antara PT. Matahari Pusakatama dengan Bank Panin adalah sebagai berikut: 
PT. Matahari Pusakatama berkewajiban untuk menyerahkan uang sejumlah total US$. 17,9 juta kepada Bank Panin yang dibayar secara cicilan setiap 3 bulan sebesar US$ 431,406.38 ditambah bunga tetap sebesar 10,65% p.a, dengan pembayaran cicilan terakhir sebesar US$. 9,706,643.66 - Bank Panin berkewajiban untuk menyerahkan uang sejumlah total Rp 41,5 miliyar kepada PT. Matahari Pusakatama yang dibayar secara cicilan setiap 3 bulan sebesar Rp. 1 Miliyar ditambah bunga tetap sebesar 19,75 % p.a. dengan pembayaran cicilan terakhir sebesar 22,5 miliyar.

Sejak terjadinya krisis pada pertengahan 1997, PT. Matahari Pusakatama mulai kesulitan untuk memenuhi kewajiban swapnya karena pendapatan sewa dari Matahari Department Store tidak berdasarkan nilai tukar pasar, namun hanya menggunakan nilai tukar sebesar Rp. 4.000,­ /US$. Di sisi lain PT. Matahari Pusakatama memiliki kewajiban pembayaran dalam mata uang US Dollar kepada Bank Panin. Hal ini mengakibatkan cash flow mismatch pada PT. Matahari Pusakatama yang pada akhirnya mengakibatkan PT. Matahari Pusakatama tidak mampu lagi memenuhi kewajibannya pada Bank Panin, baik kewajiban atas PJP maupun kewajiban atas cross currency swap.

Untuk menyelesaikan seluruh pinjamannya kepada Bank Panin, PT. Matahari Pusakatama minta agar dilakukan restrukturisasi seluruh kewajiban. Proses restrukturisasi telah mulai sejak akhir tahun 2000, dimana PT. Matahari Pusakatama mengajukan unwind terhadap transaksi swap. Perincian atas transaksi unwind yang dilakukan oleh PT. Matahari Pusakatama dilakukan berdasarkan surat­surat konfirmasi transaksi unwind yang telah disetujui oleh PT. Matahari Pusakatama. Dengan dilakukannya transaksi unwind tersebut, maka kewajiban semula PT. Matahari Pusakatama untuk melakukan pembayaran US Dollar berdasarkan transaksi swap telah berubah menjadi kewajiban pembayaran dalam rupiah.

Pada akhir bulan Juni 2001 telah dicapai kesepakatan restrukturisasi seluruh kewajiban PT. Matahari Pusakatama. Kesepakatan ini dicapai dalam suatu pertemuan dengan PT. Matahari Pusakatama di Bank Panin. Adapun garis besar kesepakatan restrukturisasi adalah sebagai berikut: 
1. Selambatnya pada tanggal 29 Juni 2002 Bank Panin telah menerima dana initial payment sebesar 20% dari total kewajiban PT. Matahari Pusakatama pada posisi tanggal 29 Juni 2001; 
2. Bank Panin akan memberikan diskon sebesar jumlah initial payment yang dilakukan oleh PT. Matahari Pusakatama. 
3. Denda atas tunggakan PJP akan dihapuskan, sementara tunggakan bunga akan ditambahkan pada jumlah kewajiban setelah initial payment dan diskon; 
4. Selanjutnya atas sisa kewajiban akan direstrukturisasi.

Bahwa karena PT. Matahari Pusakatama tidak dapat memenuhi kewajiban­-kewajibannya maka Bank Panin mengajukan permohonan eksekusi Hak Tanggungan. Atas permohonan PT. Matahari Pusakatama mengajukan bantahan. Menurut keterangan saksi ahli Hariyadi Ramelan, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan cross currency swap adalah bentuk transaksi derivatif yang dibuat untuk menjadi sarana memprediksi nilai tukar rupiah atau tingkat suku bunga dari perubahan­perubahan yang mungkin akan terjadi pada nilai tukar antar mata uang atau tingkat suku bunga.

Bahwa Para pihak yang terlibat dalam permasalahan ini terikat secara hukum untuk memenuhi prestasinya baik itu prestasi yang tercemin dari perjanjian kredit dan perjanjian jaminan, perjanjian cross currency swap maupun perubahan dan penegasan kembali terhadap perjanjian kredit dan perjanjian jaminan yang memuat dua jenis fasilitas yaitu fasilitas pinjaman uang dan fasilitas tukar menukar valuta (cross currency swap), dimana dalam perjanjian­perjanjian tersebut telah ditentukan secara pasti mengenai: 
a. jangka waktu pembayaran 
b. jangka waktu pembayaran tukar menukar valuta 
c. bunga 
d. denda keterlambatan 
Bahwa selanjutnya mengenai perjanjian cross currency swap yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak, didalamnya telah membuktikan adanya jadwal pembayaran yang harus dilakukan oleh PT. Matahari Pusakatama, mengingat di dalam perjanjian tersebut dimuat klausula mengenai pembayaran oleh PT. Matahari Pusakatama kepada Bank Panin yang dilakukan dalam US Dollar dan dari Bank Panin kepada PT. Matahari Pusakatama dalam bentuk rupiah.

Bahwa transaksi derivatif yang berupa cross currency swap dalam perkara ini merupakan perjanjian yang dibuat berdasarkan hukum Indonesia Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut: 
1. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian. 
2. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian. 
3. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya. 
4. Kebeban untuk menentukan obyek perjanjian. 
5. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian. 
6. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-­undang yang bersifat opsional (aanvullend, optional).
Berdasarkan ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang­undang bagi mereka yang membuatnya, oleh karena itu para pihak sudah selayaknya PT. Matahari Pusakatama dan Bank Panin selaku pihak­pihak di dalam PJP dan cross currency swap terikat dengan klausula yang ada di dalam perjanjian tersebut.

Di dalam Pasal 3 UU No. 4 Tahun 1996 disebutkan mengenai 3 jenis hutang yang dapat dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan berdasarkan 2 jenis perjanjian yaitu perjanjian utang piutang dan perjanjian lain, dimana hutanghutang tersebut adalah: 1. Hutang yang telah ada; 2. Hutang yang baru akan ada, tetapi telah diperjanjikan sebelumnya dengan jumlah tertentu; 3. Hutang yang baru akan ada tetapi telah diperjanjikan sebelumnya dengan jumlah yang pada saat permohonan eksekusi hak tanggungan diajukan ditentukan berdasarkan perjanjian hutang piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan hutang piutang yang bersangkutan Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas terbuktilah bahwa hutang dari cross currency swap juga dapat diikat dengan jaminan pembebanan Hak Tanggungan. Maka dari itu, PT. Matahari Pusakatama memang telah melakukan suatu tindakan wanprestasi dengan tidak melaksanakan kewajiban yang telah diatur di dalam perjanjian yang telah mereka sepakati bersama, sehingga Bank Panin memiliki hak untuk mengajukan eksekusi atas apa yang menjadi hak tanggungannya.

3. PT MAYORA INDAH VS BANKERS TRUST INTERNATIONAL PLC, CS
Gugatan PT Mayora Indah terhadap Bankers Trust International dan pihak­pihak yang terkait dengannya didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 30 Oktober 1998. Hal tersebut dipicu dengan adanya transaksi derivatif currency and interest rate swap berupa penjualan US$ 51,313,629 pada kurs Rp 2.436/US$ per 14 Juli 2004. Atas transaksi tersebut, disepakati PT Mayora Indah akan membayar suku bunga mengambang dan menerima suku bunga tetap. Bankers Trust dianggap memberikan nasehat yang menyesatkan PT Mayora Indah sehingga terlibat dalam transaksi yang merugikan. Dalam nasehatnya Bankers Trust mengemukakan bahwa PT Mayora Indah akan memperoleh keuntungan berupa penghematan pajak, cash flow dan penghematan biaya.

Ternyata di dalam perjalanannya tidak ada diantara yang dijanjikan tersebut tercapai, malah yang terjadi sebaliknya. Per 31 Desember 1997 PT Mayora Indah 21 membukukan kerugian bersih dari transaksi derivatif sebesar Rp. 113,31 milyar. Bahwa Bankers Trust memberikan nasehat kepada PT Mayora Indah untuk melakukan transaksi derivatif swap dalam bidang spekulasi bunga untuk penghematan biaya. Bankers Trust juga memberi nasehat bahwa tingkat suku bunga rupiah sebesar 15 % sama nilainya dengan tingkat suku bunga US Dollar di pasar antar bank ditamabah 1,4% ­ 1,45 % atas uang pokok senilai Rp. 100 miliyar. Atau bunga rupiah per tahun US$ LIBOR + 1,4 % ­ 1,45 % . Uang pokok Rp. 100 Miliar tersebut hanya nilai fiktif (Bankerst Trust memakai istilah “a notional amount” atau suku bunga dihitung dari uang pokok (principal) yang tidak pernah ada atau fiktif. Bankers Trust juga memberikan jaminan bahwa mereka sangat ahli dalam transaksi derivatif dan full service dari mereka akan bermanfaat bagi PT Mayora Indah. Selain itu Bankers Trust juga meyakinkan PT Mayora Indah bahwa transaksi derivatif akan memberikan keuntungan baginya berupa arus kas yang positif dari perbedaan tingkat suku bunga rupiah dan suku bunga US Dollar. Bahwa perikatan diantara PT Mayora dengan Bankers Trust didasarkan atas paksaan, kekhilafan atau penipuan sehingga menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya (Pasal 1449 KUHPerdata) maka dari itu unsur kesepatan sebagaiman dianut oleh Pasal 1320 KUHPerdata tidak terpenuhi.

Tindakan dari Bankers Trust juga bertentangan dengan SK Dir BI No. 28/119/KEP/DIR dimana Bankers Trust tidak pernah melaksanakan ketentuan Pasal 5 (1) SK Dir BI tersebut, Bankers Trust tidak pernah memberikan penjelasan apapun terhadap PT Mayora Indah mengenai resiko yang akan timbul 22 dari transaksi tersebut dan PT mayora tidak pernah menandatangani Risk Disclosure Statement Bahwa mengingat sifat dari transaksi derivatif/cross currency swap transaction adalah spekulasi dan pengetahuan dan keahlian memprediksi mata uang sangat sedikit bagi nasabah dibandingkan dengan Bank, maka untuk melindungi masyarakat Bank Indonesia menerbitkan SK Dir BI No. 28/119/KEP/DIR yang membatasi transaksi derivatif secara terbatas dengan persyaratan yang sangat berat.

Dengan demikian Bankers Trust dinilai sengaja menjerumuskan PT. Mayora Indah karena tidak memberikan semua fakta yang berkaitan dengan melemahnya mata uang rupiah terhadap US Dollar. Penulis berpendapat, dalam kasus PT. Mayora Indah ini transaksi derivatif yang dilakukan bukan merupakan tindakan hedging yang memenuhi unsur­unsur dari prudential banking, karena master agreement dari transaksi tersebut juga merupakan hal yang fiktif, sehingga tidak memenuhi keabsahan dari transaksi derivatif.
Sumber :
http://memebali.blogspot.com/2013/06/contoh-kasus-kecurangan-derivatif.html
Kredit Macet Rp 52 Miliar, Akuntan Publik Diduga Terlibat JAMBI, KOMPAS.com – Seorang akuntan publik yang membuat laporan keuangan perusahaan Raden Motor untuk mendapatkan pinjaman modal senilai Rp 52 miliar dari BRI Cabang Jambi pada 2009, diduga terlibat kasus korupsi dalam kredit macet. Hal ini terungkap setelah pihak Kejati Jambi mengungkap kasus dugaan korupsi tersebut pada kredit macet untuk pengembangan usaha di bidang otomotif tersebut. Fitri Susanti, kuasa hukum tersangka Effendi Syam, pegawai BRI yang terlibat kasus itu, Selasa (18/5/2010) mengatakan, setelah kliennya diperiksa dan dikonfrontir keterangannya dengan para saksi, terungkap ada dugaan kuat keterlibatan dari Biasa Sitepu sebagai akuntan publik dalam kasus ini. Hasil pemeriksaan dan konfrontir keterangan tersangka dengan saksi Biasa Sitepu terungkap ada kesalahan dalam laporan keuangan perusahaan Raden Motor dalam mengajukan pinjaman ke BRI. Ada empat kegiatan data laporan keuangan yang tidak dibuat dalam laporan tersebut oleh akuntan publik, sehingga terjadilah kesalahan dalam proses kredit dan ditemukan dugaan korupsinya. “Ada empat kegiatan laporan keuangan milik Raden Motor yang tidak masuk dalam laporan keuangan yang diajukan ke BRI, sehingga menjadi temuan dan kejanggalan pihak kejaksaan dalam mengungkap kasus kredit macet tersebut,” tegas Fitri. Keterangan dan fakta tersebut terungkap setelah tersangka Effendi Syam diperiksa dan dikonfrontir keterangannya dengan saksi Biasa Sitepu sebagai akuntan publik dalam kasus tersebut di Kejati Jambi. Semestinya data laporan keuangan Raden Motor yang diajukan ke BRI saat itu harus lengkap, namun dalam laporan keuangan yang diberikan tersangka Zein Muhamad sebagai pimpinan Raden Motor ada data yang diduga tidak dibuat semestinya dan tidak lengkap oleh akuntan publik. Tersangka Effendi Syam melalui kuasa hukumnya berharap pihak penyidik Kejati Jambi dapat menjalankan pemeriksaan dan mengungkap kasus dengan adil dan menetapkan siapa saja yang juga terlibat dalam kasus kredit macet senilai Rp 52 miliar, sehingga terungkap kasus korupsinya. Sementara itu pihak penyidik Kejaksaan yang memeriksa kasus ini belum maumemberikan komentar banyak atas temuan keterangan hasil konfrontir tersangka Effendi Syam dengan saksi Biasa Sitepu sebagai akuntan publik tersebut. Kasus kredit macet yang menjadi perkara tindak pidana korupsi itu terungkap setelah kejaksaan mendapatkan laporan adanya penyalahgunaan kredit yang diajukan tersangka Zein Muhamad sebagai pimpinan Raden Motor. Dalam kasus ini pihak Kejati Jambi baru menetapkan dua orang tersangka, pertama Zein Muhamad sebagai pimpinan Raden Motor yang mengajukan pinjaman dan tersangka Effedi Syam dari BRI yang saat itu menjabat sebagai pejabat penilai pengajuan kredit. Copy and WIN : http://bit.ly/copy_win

Copy and WIN : http://bit.ly/copy_win
 

Tulisan Etika Profesi: Sejarah KAP Big Four

Nama : Mukhlasin
Npm : 25211028
Kelas : 4EB10
 
Kantor akuntan publik (KAP) adalah badan usaha yang telah mendapatkan izin dari Menteri Keuangan sebagai wadah bagi akuntan publik dalam memberikan jasanya.

Bidang jasa KAP meliputi:
Jasa atestasi, termasuk di dalamnya adalah audit umum atas laporan keuangan, pemeriksaan atas laporan keuangan prospektif, pemeriksaan atas pelaporan informasi keuangan proforma, review atas laporan keuangan, dan jasa audit serta atestasi lainnya.
Jasa non-atestasi, yang mencakup jasa yang berkaitan dengan akuntansi, keuangan, manajemen, kompilasi, perpajakan, dan konsultasi.
Dalam hal pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan, KAP hanya dapat melakukan paling lama untuk 6 (enam) tahun buku berturut-turut.

PricewaterhouseCoopers (PwC) adalah kantor jasa professional terbesar di dunia saat ini. Kantor ini dibentuk pada tahun 1998 dari penggabungan usaha antara Price Waterhouse dan Coopers & Lybrand. PwC adalah yang terbesar di antara the Big Four auditors, yang lainnya adalah Deloitte, Ernst & Young dan KPMG.
Penghasilan gabungan PricewaterhouseCoopers di seluruh dunia mencapai 20.3 miliar dolar Amerika Serikat untuk tahun fiskal 2005, dan mempekerjakan lebih dari 130.000 profesional di 148 negara.
Di Amerika Serikat kantor ini beroperasi dengan nama PricewaterhouseCoopers LLP yang merupakan perusahaan swasta terbesar keenam.

Samuel Price, seorang akuntan, mulai praktik di London pada tahun 1849. Dalam tahun 1865 Price membuat persekutuan dengan William Holyland dan Edwin Waterhouse. Sejak tahun 1874 kantor ini kemudian dikenal dengan nama Price, Waterhouse & Co. Holyland akhirnya meninggalkan persekutuan itu dan kemudian huruf '& Co' dan koma dihilangkan dari nama kantor tersebut. Di akhir tahun 1800-an, Price Waterhouse mendapat pengakuan sebagai suatu kantor akuntan publik tepercaya. Dengan berkembangnya perdagangan antara Britania Raya dan Amerika Serikat, Price Waterhouse kemudian membuka kantornya di New York dalam tahun 1890, yang kemudian kantor di Amerika ini berkembang dengan sangat pesatnya. Kantor asalnya di Inggris juga membuka banyak kantor di negara-negara Persemakmuran Inggris. Setiap kali mendirikan persekutuan terpisah di setiap negara, setiap sekutu yang diberikan insentif yang baik untuk meluaskan praktik lokalnya. Jadi kegiatan PW di seluruh dunia merupakan suatu gabungan kantor-kantor lokal yang berkembang secara alamiah dibandingkan dengan merupakan hasil dari penggabungan usaha internasional.
Pertumbuhan juga dirasakan dengan bertambahnya kebutuhan audit khususnya setelah Depresi Hebat dalam tahun 1920-an dan 1930-an dan juga dengan bertambah kompleksnya perpajakan.
Sebagai kelanjutan usahanya dalam memperoleh skala ekonomis, PW dan Arthur Andersen pernah membicarakan suatu penggabungan dalam tahun 1989, namun akhirnya negosiasi ini gagal terutama karena adanya konflik kepentingan contohnya keterkaitan bisnis Andersen dengan IBM padahal PW mengaudit IBM. Dalam tahun 1998 Price Waterhouse dan Coopers & Lybrand bergabung dan membentuk PricewaterhouseCoopers. Tahun berikutnya, pembicaraan untuk menggabungkan PwC dengan Grant Thornton gagal. Oleh karena berkurangnya jumlah kantor-kantor besar, sepertinya otoritas pengatur kompetisi akan sulit meluluskan izin penggabungan usaha.

Klien besar PwC lain di antaranya American International Group, Freddie Mac, Bank of America, JP Morgan Chase, Tesco, Unilever, dan Academy of Motion Picture Arts and Sciences, yang melakukan tabulasi pemungutan suara untuk Academy Awards.
  

Deloitte Touche Tohmatsu (juga terkenal dengan merek Deloitte) adalah urutan kedua terbesar di dunia dalam bidang jasa profesional setelah PricewaterhouseCoopers dan merupakan anggota dari the Big Four auditors, sebuah kelompok kantor akuntan internasional terbesar di dunia. Dalam tahun 2004, dengan 16,4 miliar dolar Amerika Serikat, mereka merupakan yang terbesar di antara the Big Four auditors dalam hal penghasilan. Sebagai tambahan dari jasa akuntansi, Deloitte adalah satu dari kantor penasehat bisnis yang terbesar di dunia yang menawarkan jasa manajemen strategik dan operasional pada perusahaan-perusahaan dalam Fortune 500.
Sebelumnya, kantor ini dikenal dengan nama Deloitte & Touche yang terbentuk karena bergabungnya Touche Ross dan Deloitte Haskins & Sells (di luar Kerajaan Inggris) pada tahun 1990. Dalam tahun 1993, kantor internasional mengubah namanya menjadi Deloitte Touche Tohmatsu, nama yang ketiga berasal dari kantor Tohmatsu & Co, yang bergabung dengan Touche Ross dalam tahun 1975. Nama kantor ini merupakan gabungan nama William Welch Deloitte, George Touche, dan Panglima Nobuzo Tohmatsu. Nama Deloitte adalah nama tertua yang terus-menerus digunakan dalam profesi akuntansi. Deloitte Touche Tohmatsu berbentuk hukum Swiss Verein, suatu organisasi keanggotaan berdasarkan Undang-undang Sipil Swiss (Swiss Civil Code) dimana setiap anggotanya merupakan badan hukum tersendiri dan independen. Kantor pusat globalnya berkedudukan di Manhattan, New York.
Deloitte di Indonesia di wakili oleh Osman Bing Satrio dan Rekan, juga didukung oleh PT. Deloitte Konsultan Indonesia dan Deloitte Tax Service.
 
Ernst & Young (EY atau E&Y) adalah perusahaan jasa profesional yang merupakan salah satu dari the Big Four auditors, bersama dengan PricewaterhouseCoopers (PwC), Deloitte Touche Tohmatsu (Deloitte), dan KPMG.
Ernst & Young merupakan perusahaan global yang terdiri dari sejumlah perusahaan anggota. EY Global bermarkas di London, EY AS di New York, dan EY Indonesia di Jakarta.

Perusahaan (persekutuan/perserikatan) ini merupakan hasil dari serangkaian merger dari perusahaan-perusahaan pendahulunya. Persekutuan tertua didirikan pada tahun 1849 di Inggris dengan nama Harding & Pullein.Pada tahun itu juga, Frederick Whinney bergabung. Dia kemudian menjadi partner pada tahun 1859. Pada tahun 1894, seiring dengan bergabungnya anak-anaknya, persekutuan tersebut berganti nama menjadi Whinney, Smith & Whinney.
Pada tahun 1903, perusahaan Ernst & Ernst didirikan di Cleveland oleh Alwin dan Theodore Ernst. Pada tahun 1906, Arthur Young & Company didirikan di Chicago oleh Arthur Young.
Pada awal tahun 1924, perusahaan-perusahaan AS tersebut beraliansi dengan perusahaan dari Britania Raya, Young dengan Broad Paterson & Co, dan Ernst dengan Whinney, Smith & Whinney. Pada 1979, Ernst & Whinney terbentuk dan menjadi firma akuntansi keempat terbesar di dunia.[1] Pada tahun 1989, peringkat empat bergabung dengan peringkat lima, Arthur Young, sehingga tercipta Ernst & Young ("EY").

Di Indonesia, EY berafiliasi dengan Kantor Akuntan Publik Purwantono, Suherman & Surja (PSS). Klien utama Ernst & Young antara lain Pertamina sudah dicuri PWC, Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI), PT Krakatau Steel & Group, Coca Cola Bottling Indonesia & Indosat
 
KPMG adalah salah satu perusahaan jasa profesional terbesar di dunia. KPMG mempekerjakan 104.000 orang dalam partnership global menyebar di 144 negara. Pendapatan komposit dari anggota KPMG pada 2005 adalah US$15,7 miliar. KPMG memiliki tiga jalur layanan: audit, pajak, dan penasehat. KPMG adalah salah satu anggota the Big Four auditors, bersama dengan PricewaterhouseCoopers, Ernst & Young dan Deloitte.
Setiap perusahaan nasional KPMG adalah sebuah badan legal independen dan merupakan anggota dari KPMG internasional, perusahaan Swiss Verein yang bermarkas besar di Belanda. Pada awal 2005, perusahaan anggotanya di AS, KPMG LLP, dituduh oleh Departemen Kehakiman Amerika Serikat atas penipuan dalam memasarkan perlindungan pajak yang menyimpang dari hukum. Dalam suatu kesepakatan, KPMG LLP mengakui telah berbuat kejahatan dengan menciptakan perlindungan pajak palsu untuk menolong klien-kliennya yang kaya untuk menghindari pajak sebesar $2.5 miliar dan setuju untuk membayar hukuman denda sebesar $456 juta. KPMG LLP tidak akan menghadapi tuntutan hukum atas perbuatan kriminal ini selama ia setuju dengan syarat-syarat dalam kesepakatan dengan pemerintah.
KPMG International dipimpin oleh Michael D.V. Rake, Ketua, Mitra Senior KPMG di Britania Raya; Michael P. Wareing, CEO, Mitra KPMG di Britania Raya; John B. Harrison, Ketua-Wilayah Asia Pasifik, Mitra KPMG di RRT dan Hong Kong; Timothy P. Flynn, Ketua-Wilayah Amerika, Ketua KPMG di Amerika Serikat; Ben van der Veer, Ketua-Wilayah Eropa, Timur Tengah dan Afrika, Ketua KPMG di Belanda.

Di Indonesia, KPMG memiliki partner lokal yaitu KAP Siddharta & Widjaja yang dipimpin oleh Tohana Widjaja.

K -singkatan Klynveld, setelah Piet Klynveld , pendiri perusahaan akuntansi Klynveld Kraayenhof & Co di Amsterdam pada tahun 1917.
P -singkatan dari Piet, setelah William Barclay Gambut , pendiri perusahaan akuntansi William Barclay Gambut & Co di London pada 1870.
M -singkatan dari Marwick, setelah James Marwick , co-pendiri perusahaan akuntansi Marwick, Mitchell & Co di New York City pada tahun 1897.
G -adalah singkatan dari Goerdeler, setelah Reinhard Goerdeler , ketua akuntansi perusahaan Jerman Deutsche Gesellschaft Treuhand-(DTG) dan, kemudian, ketua dari KPMG.
 
Sumber :

Tulisan Etika Profesi: Audit Forensik

Nama : Mukhlasin
Npm : 25211028
Kelas : 4EB10

audit forensik yang eksploratif untuk mendapatkan bukti yang dapat diterima oleh sistem hukum yang berlaku dalam menyelesaikan kecurangan

Cukup banyak definisi auditing. The American Accounting Association Committee on Basic Auditing Concepts mendifinisikan bahwa “A Systematic process of objectively obtaining and evaluation evidence regarding assertions the degree of correspondence between those assertion and established criteria and communicating the result to interested user” Auditing dapat diklasifikasikan dalam beberapa jenis yaitu audit laporan keuangan (General Financial Statement Audit), audit kepatuhan (compliance audit), audit manajemen atau operasional (management/operational audit), audit terhadap kecurangan (Fraud audit), audit keuangan yang lebih rinci, dan audit forensik (Forensic audit).

Belakangan ini audit ini makin mengemuka setelah maha kasus bailout Bank Century belum terselesaikan, dilakukan forensic sesuai permintaan legislatif dalam upaya menindaklanjuti hasil audit investigasi yang dilaksanakan sebelumnya. Disisi lain, semakin marak terjadi femonena fraud utamanya korupsi, bahkan Ketua Komisi Yudisial (KY) Mahmud MD dalam salah satu media massa Koran Jakarta mengatakan sampai akhir Januari 2012 terdapat 167 kepala daerah maupun mantan yang secara resmi terlibat korupsi. Fraud merupakan kejahatan yang luar biasa, maka harus secara luar biasa pula penanganannya, dibongkar dan dituntaskan melalui teknologi forensik sehingga diperoleh alat bukti yang dapat diterima sistem hukum yang berlaku.
Makna Forensik
Audit forensik merupakan audit gabungan keahlian yang mencakup keahlian akuntansi, auditing maupun bidang hukum/perundangan dengan harapan bahwa hasil audit tersebut akan dapat digunakan untuk mendukung proses hukum di pengadilan maupun kebutuhan hukum lainnya. Audit forensik dilakukan dalam rangka untuk memberikan dukungan keahlian dalam proses legal pemberian keterangan ahli dalam proses litigasi/litigation. Audit forensik yang sebelumnya dikenal dengan akuntansi forensik mengandung makna antara lain “yang berkenaan dengan pengadilan”. Selain itu, juga sesuatu yang berkenaan dengan penerapan pengetahuan ilmiah pada permasalahan hukum.
Menurut Editor in chief dari Journal of Forensic Accounting D. Larry Crumbley bahwa “secara sederhana dapat dikatakan, bahwa akuntansi forensik adalah akuntansi yang akurat untuk tujuan hukum, artinya akuntansi yang dapat bertahan dalam kancah perseteruan selama proses pengadilan atau proses peninjauan judisial atau administratif”. Secara makro cakupan audit forensik meliputi investigasi kriminal, bantuan dalam konteks perselisihan pemegang saham, masalah gangguan usaha (business interupstions)/jenis lain dan klaim assuransi, maupun business/employee fraud investigation.
Berkaitan dengan istilah fraud dalam judul tersebut dapat dimaknai sebagai serangkaian kata perbuatan yang melawan hukum/illegal acts yang dilakukan dengan sengaja dan merugikan pihak lain. Perbuatan yang merugikan tersebut antara lain bisa berbentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), kecurangan, penyelewengan, pencurian, penyogokan, manipulasi, penggelapan, penjarahan, penipuan, penyelundupan, salah saji. Perbuatan tersebut secara keseluruhan merupakan perbuatan yang menyimpang etika dan kepatutan/abuse
Audit investigasi mendahului forensik secara kontekstual, perlu ditingkatkan pemahaman yang maknanya merupakan audit yang bersifat khusus utamanya yang ditujukan untuk mengungkap kasus-kasus atau kecurangan maupun penyimpangan-penyimpangan yang memiliki indikasi Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN). Audit investigasi merupakan kegiatan pengumpulan fakta dan bukti yang dapat diterima dalam sistim hukum yang berlaku dengan tujuan untuk mengungkapkan terjadinya kecurangan/fraud.
Menurut Centre of International Crime Prevention/CICP dan UN Office for Drug Control and Crime Prevention (UN-ODCCP) mengelompokkan dalam 10 bentuk korupsi yaitu (i) Pemalsuan/Fraud, (ii) Penyuapan/Bribery, (iii) Penggelapan/Emblezzlement, (iv) Komisi/Commision, (v) Pemerasan/Extortion, (vi) Pilih kasih/Favoritism, (vii) Penyalahgunaan wewenang/Abuse of Discretion, (viii) Nepotisme/Nepotism, (ix) Bisnis orang dalam/Insider Trading, dan (x) Sumbangan Illegal/Illegal contribution
Kecurangan Terkini
Tindak pidana kecurangan semakin berkembang seiring dengan perkembangan inteligensia frauder dan menyelaraskan dengan perkembangan ilmu dan teknologi informatika modern digital elektronik. Sebagai contohnya adalah kecurangan dalam bentuk pencucian uang/money laundering dan penggelapan asset. Tentunya dibutuhkan peran lembaga yang mampu mengendus tindak kecurangan lebih dini dengan menggunakan teknologi modern melalui sistem lembaga-lembaga keuangan untuk menghentikan tindak pidana tersebut.
Frauder akan berusaha mengamankan hasil kejahatannya antara lain dengan merekayasa, menyamarkan dan menutupi/menyembunyikannya dari penegak hukum. Namun demikian, auditor forensik harus menelusuri, menelisik jejak hasil fraud yang sudah disamarkan atau dimanipulasikan dalam bentuk asset lainnya sehingga diperoleh alat bukti yang handal dan memadai dalam rangka proses litigasi. Upaya kamuflase hasil tindak pidana kecurangan bisa melalui money laundering maupun penggelapan aset.
Pencucian uang/Money laundering. Merujuk pada Undang Undang Nomor 15 tahun 2002 yang diubah dengan Undang Undang Nomor 25 Tahun 2003  tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) bahwa Pencucian Uang/money laundering adalah “Perbuatan menempatkan, menstransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyampaikan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan,atau perbuatan lainnya atas harta kekayaannya yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
Tindak pidana tersebut melalui tiga proses yaitu penempatan/placement, pelapisan/layering, dan Integrasi/integration. Tahap Penempatan/placement merupakan upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana kedalam sistem keuangan (finansial system) atau upaya menempatkan uang giral kembali kedalam sistem perbankan (Bank, asel mahal, barang antik dan perhiasan). Tahap pelapisan/layering merupakan upaya untuk menstransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana/dirty money yang telah berhasil ditempatkan pada penyedia jasa keuangan (bank) sebagai hasil usaha penempatan (placement) ke penyedia jasa keuangan yang lain (menjual sekuritas yang lain). Tahap Integrasi/Integration merupakan upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk dalam sistem keuangan melalui penempatan atau transfer, sehingga seolah-olah menjadiharta kekayaan yang halal/clean money untuk kegiatan bisnis yang halal.
Tindak pidana tersebut secara ilustrasikal berikut
Dalam rangka penanganannya tidak mudah dan dibutuhkan peran dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sesuai dengan UU No. 15 Tahun 20202 Pasal 18.
Penelusuran Asset/Assets Terracing. Penggelapan asset oleh frauder diretas dengan penelusuran dalam rangka recovery/pemulihan kerugian. Penelusuran asset/asset terracing merupakan “suatu teknik yang digunakan oleh seorang investigator/auditor forensik dengan mengumpulkan dan mengevaluasi bukti-bukti transaksi keuangan dan non keuangan yang berkaitan dengan asset hasil perbuatan tindak pidana korupsi dan atau tindak pidana pencucian uang yang disembunyikan oleh pelaku untuk diidentifikasi, dihitung jumlahnya dan selanjutnya agar dapat dilakukan pemblokiran/pembekuan dan penyitaan untuk pemulihan kerugian akibat pelaku TPK dan atau tindak pidana pencucian uang.  Memperoleh bukti-bukti transaksi keuangan, dilakukan melalui penggeledahan yang diawali dengan permintaan informasi dan koordinasi dengan pihak terkait yang kompeten. Setelah penggeledahan menganalisis bukti dan wawancara dengan tersangka. Menyita bukti-bukti transaksi dan bukti yang tersimpan dalam  perangkat lunak maupun perangkat keras komputer, bahkan bukti-bukti dalam bentuk digitalis.
Teknik Penelusuran asset dengan Net worth method/metode kekayaan bersih (penghasilan kena pajak yang tidak dilaporkan; penghasilan yang tidak sah/melawan hukum, illegal income dari organized crime; dan penetapan net worth awal tahun). Rumusan Net Worth = Assets – Liabilities. Metode lainnya, Expenditure Methode untuk menentukan unreported taxeable income. Metode ini untuk wajib pajak yang tidak mengumpulkan harta benda, tetapi mempunyai pengeluaran besar.
Audit investigasi-forensik
Audit investigasi/forensik dapat merupakan pengembangan lebih lanjut atas hasil audit operasional, audit kinerja yang memuat adanya indikasi KKN dengan konsekuensi terjadinya kerugian keuangan negara, namun demikian audit investigasi dapat juga didasarkan indikasi kerugian yang tertayang sebagai berita dalam media massa maupun dalam laporan atau pengaduan masyarakat.
Meskipun merupakan audit yang bersifat khusus, namun demikian teknologi atau metodologi auditnya dapat menggunakan teknik audit secara umum sesuai dengan standar audit yang berlaku dengan menggunakan teknik audit yang sifatnya eksploratif melalui (i) Pengujian terhadap fisik/physical examination yang meliputi penghitungan uang tunai, kertas berharga, persediaan barang, aktiva tetap dan barang berwujud lainnya, (ii) Meminta konfirmasi /confirmation dalam investigasi bahwa tindakan konfirmasi harus dikolaborasi-padukan dengan sumber lain/substained, (iii) Mengaudit dokumen atau buril /documentation termasuk dokumen digital, electrical dan lainnya.
Teknik audit selanjutnya  adalah (iv) Reviu yang sifatnya analitis/analytical review yaitu teknik menjawab terjadinya kesenjangan atas perbandingan yang dihadapi dengan apa yang layaknya harus terjadi, (v) Meminta informasi lisan atau tertulis dari pihak yang diaudit/inquiry of the auditee untuk mendukung masalah, (vi) Menghitung kembali/reperformance yang mana penggunaan teknik ini dilakukan dengan menguji kebenaran perhitungan (perkalian, pembagian, penambahan, pengurangan) dalam rangka memberikan jaminan atas kebenaran secara aritmatikal, (vii) Mengamati/observation ini lebih menggunakan intuisi auditor terhadap kemungkinan adanya hal-hal yang disembunyikan.
Theodorus M. Tuanakotta menyampaikan beberapa kondisi yang bisa mengidentifikasikan  risiko terjadinya kecurangan yaitu  lemahnya manajemen yang tidak bisa menerapkan pengendalian intern yang ada atau tidak bisa mengawasi proses pengendalian; Pemisahan tugas yang tidak jelas, terutama yang berkaitan dengan tugas-tugas pengendalian dan pengamanan sumberdaya; Transaksi-transaksi yang tidak lazim  dan tanpa penjelasan yang memuaskan; Kasus dimana pegawai cenderung menolak liburan atau menolak promosi; Dokumen-dokumennya hilang atau tidak jelas, atau manajemen selalu menunda memberikan informasi tanpa alasan yang jelas; Informasi yang salah atau membingungkan, dan pengalaman audit atau investigasi yang lalu dengan temuan mengenai kegiatan-kegiatan yang perlu dipertanyakan atau bersifat kriminal.
Seperti telah disinggung dalam uraian tersebut bahwa audit ini tidak sama dengan pelaksanaan audit secara umum, audit forensik lebih menekankan pada hal-hal atau tindakan yang diluar kewajaran atau diluar kebiasaan maupun yang seringkali dikatakan pengecualian maupun keanehan (exception, addities, irregularities) dan pola tindakan (pattern of conduct) daripada hal-hal yang sifatnya normatif yaitu kesalahan (error) dan keteledoran (ommisions) seperti audit umumnya. Dapat dikatakan bahwa audit forensik merupakan suatu metodologi dan pendekatan khusus dalam menilisik kecurangan (fraud), atau audit yang bertujuan untuk membuktikan ada atau tidaknya fraud yang dapat digunakan dalam proses litigasi.
Upaya penajaman atas permasalahan dari audit investigasi  melalui teknologi forensik, terutama untuk menguji bahan bukti  audit yang bersifat khusus utamanya yang ditujukan untuk mengungkap kasus-kasus atau kecurangan maupun penyimpangan-penyimpangan yang memiliki indikasi merugikan keuangan Negara, modus operandi, pihak-pihak yang terlibat, peraturan perundangan yang dikangkangi, kapan terjadinya kejadian, lokus kejadian, kerugian yang ditimbulkan, dan alat bukti perkara sesuai dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP berupa keterangan saksi, keterangan ahli, bukti surat, petunjuk, maupun keterangan terdakwa. Tentunya runtutan kejadian perkara tersebut harus dituangkan dalam berita acara permintaan keterangan (BAPK) dari pihak yang terkait dengan kejadian perkara dimaksud.
Dalam audit forensik ini secara normatif auditor dibebani tuntutan untuk dapat memperoleh bukti dan alat bukti yang dapat mengungkap adanya tindak pidana fraud. Selain itu, alat bukti hasil audit forensik dimaksud untuk digunakan oleh aparat penegak hukum (APH) untuk dikembangkan menjadi alat bukti yang  sesuai dengan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)  seperti tersebut pada uraian diatas  dalam rangka mendukung litigasi peradilan. Alat bukti yang cukup dikembangkan tersebut selanjutnya dilakukan analisis yang merupakan tanggungjawab auditor dalam upaya pembuktian sampai menemukan alat bukti sesuai ketentuan, sedangkan penetapan terjadinya fraud maupun salah tidaknya seseorang merupakan wewenang APH, dalam hal ini alat bukti dan keyakinan hakim pengadilan.
Bukti Tindak Pidana
Bukti yang diperoleh auditor harus cukup, mengingat seringnya dampak yang akan dihadapi oleh pihak-pihak yang terlibat dan bertanggungjawab dalam kejadian kecurangan. Dan auditor dapat menghadapi tuntutan hukum dari pihak yang merasa dirugikan akibat kesalahan auditor yang mengambil simpulan dari fakta-fakta yang tidak lengkap. Standar audit Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah (SA-APFP) SK Kepala Balai Pengawasan Keuangan dan Pembangunan No Kep.378/K/1996 tentang Standar Pelaksanaan Audit APFP bahwa “ Bukti Audit yang relevan, kompeten dan cukup harus diperoleh sebagai dasar yang memadai untuk mendukung pendapat simpulan dan saran. Maknanya Relevan yaitu logis mendukung pendapat/kesimpulan; Kompeten yaitu sah dan dapat diandalkan menjamin kesesuaian dengan fakta, dan Cukup dalam arti jumlah bukti untuk menarik kesimpulan.
Mengumpulkan bukti. Tahapan untuk mendapatkan keyakinan bahwa bukti yang didapatkan/diidentifikasi dapat diandalkan (leading) atau tidak dapat diandalkan (misleading). Bila tidak, maka harus dievaluasi untuk menentukan apakah audit harus diselesaikan sebagaimana yang direncanakan. Bukti dapat diperoleh dari saksi, korban dan pelaku; Pencarian dan penggeledahan; Penggunaan alat bantu (computer), dan  tenaga ahli
Evaluasi bukti. Merupakan tahapan yang paling kritis sebab pada tahap ini akan ditentukan diperluas atau tidaknya untuk mendapatkan informasi tambahan sebelum simpulan diambil dan laporan disusun. Kegiatan mencakup evaluasi relevansi dapat diterima dan kompetensi. Evaluasi bukti dilakukan bila seluruh bukti terkait telah diperoleh. Hal ini dilakukan untuk (i) menilai kasus terbukti atau tidak kebenarannya;  (ii) evaluasi berkala untuk menilai kesesuaian hipotesis dengan fakta yang ada, (iii) perlu tidaknya pengembangan suatu bukti, (iv) antisipasi dengan urutan proses kejadian (sequence) dan kerangka waktu kejadian/time frame). Teknis analisis bukti meliputi (i) Find, (ii) Read and interpret documents, (iii) Determinate relevance, (iv) verify the evidence, (v) assemble the evidence, dan (vi) Draw conclusion.
Pembuktian Bukti
Pembuktian menurut KUHAP antara lain Pasal 183 menetapkan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Sedangkan jenis alat bukti yang sah (I) keterangan saksi (Pasal 185, Pasal 1 butir 27); (ii) Keterangan Ahli (Pasal 187, Pasal 1 butir 28). (iii) Surat (Pasal 187), (iv) Petunjuk (Pasal 186), (v) Keterangan Terdakwa (Pasal 189). Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk menbuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Pembuktian yang dilakukan pada Instansi penyidik dalam digambarkan  dibawah ini
Selanjutnya, hasil dari pembuktian ditingkat penyidikan dan berkasnya dengan bukti-bukti yang cukup diserahkan kepada penuntut umum untuk diteliti berkas perkaranya bila tidak cukup bukti dihentikan penuntutan. Sebaliknya, bila cukup bukti dilimpahkan ke pengadilan negeri untuk dilaksanakan pembuktian di persidangan.
Proses Pembuktian dalam persidangan secara lengkap digambarkan sebagai berikut
Prosedur audit forensik utamanya ditekankan pada analisis laporan /analytical review dan teknik wawancara mendalam/in depth interview walaupun demikin masih juga tetap menggunakan teknis audit secara umum pengecekan fisik, rekonsiliasi dan konfirmasi. Audit forensik difokuskan pada area tertentu yang telah dipindai atau didugatengarai telah terjadi tindak kecurangan baik dari laporan pihak dalam atau orang pihak ketiga/tip off atau petunjuk terjadinya kecurangan/red flags, maupun dengan petunjuk lainnya.
Audit forensik biasa dilakukan dengan melalui beberapa tahapan yaitu auditor (i) memperoleh informasi awal fraud, (ii) memperoleh informasi tambahan bila diperlukan, (ii) melakukan analisis layak tidaknya diinvestigasi  dari data yang tersedia, (iii) Menciptakan dan mengembangkan hipotesis-hipotesis yang didasarkan pada hasil analisis, (iv) Melakukan pengujian terhadap hipotesis, (v) memperbaiki maupun mengubah hipotesis berdasarkan hasil pengujian, (vi) mengumpulkan bukti-bukti fraud; (vii) evaluasi bukti-bukti, (viii) menyusun laporan LHF. Teknologi auditnya dapat memilih menggunakan (i) Melakukan audit fisik forensik, (ii) Melakukan konfirmasi atas hasil forensik, (iii) Audit buril atau dokumen yang terkait dengan kasus yang diforensik, (iv) Melakukan reviu secara analitikal atas kasus yang diforensik, (v) Meminta informasi lisan maupun tertulis atas kasus yang diforensik, (vii) Melakukan perhitungan ulang atas kasus forensik (reperformance), dan (viii) Melakukan pengamatan kasus forensik (observation).
Kertas Kerja Investigasi (KKI) didokumentasikan secara baik. KKI berisi catatan, analisis, simpulan terhadap pelaksanaan/pelaksanaan investigasi yang menyangkut (i) penyimpangan dan penyebabnya; (ii) pengujian yang telah dilaksanakan, (iii) Bukti informasi yang diperoleh, (iv) hasil wawancara dan Berita Acara Permintaan Keterangan (BAPK), (v) Gambaran tentang modus operandi; dan (vi) simpulan audit investigasi dan rekomendasi.
Laporan audit forensik yang utama adalah memuat informasi benar tidaknya fraud yang dipindai terjadi dengan dukungan barang bukti maupun alat bukti yang memadai sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku. Laporan dimaksud nara sumber hanya menyebutkan simpulan benar tidaknya fraud telah terjadi.
Standar  dan Profesionalitas
Standar Auditing. Dalam pelaksanaan auditing akuntan diikat dengan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) yaitu Standar Umum yaitu audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis cukup sebagai auditor; dalam semua hal yang berhubungan dengan penugasan independensi sikap mental harus dipertahankan oleh auditor, kemahiran professional-cermat dan seksama. Standar Pekerjaan Lapangan yaitu jika digunakan asisten harus disupervisi dengan sebaik-baiknya; kewajiban auditor memahami struktur pengendalian internal; dan harus diperoleh bahan bukti kompeten dan cukup. Standar pelaporan yaitu pendapat tentang kesesuaian dengan standar/prinsip akuntansi umum; konsistensi sistem akuntansi; pengungkapan informatif laporan keuangan harus cukup; dan pernyataan pendapat auditor.
Bagaimana dengan standar audit investigasi/forensik? Theodorus M Tuanakotta mengutip standar yang dirumuskan K.H. Spencer Pickett dan Jennifer Pickett dengan 7 (tujuh) standar untuk melakukan investigasi terhadap fraud, yaitu :
1. Seluruh investigasi harus dilandasi praktek terbaik yang diakui/accepted best practices)
2. Kumpulkan bukti-bukti dengan prinsip kehati-hatian/due care sehingga bukti-bukti tadi dapat diterima di pengadilan
3. Pastikan bahwa seluruh dokumentasi dalam keadaan aman, terlindungi dan diindeks; dan jejak audit tersedia.
4. Pastikan bahwa para investigator mengerti hak-hak azasi pegawai dan senantiasa menghormatinya.
5. Beban pembuktian ada pada yang “menduga pegawainya melakukan kecurangan, dan pada “penuntut umum” yang mendakwa pegawai tersebut, baik dalam kasus hukum administratif maupun hukum pidana.
6. Cakup seluruh subtansi investigasi dan “kuasai” seluruh target yang sangat kritis ditinjau dari segi waktu.
7. Liput seluruh tahapan kunci dalam proses investigasi, termasuk perencanaan, pengumpulan bukti dan barang bukti, wawancara, kontak dengan pihak ketiga, pengamanan mengenai hal-hal yang bersifat rahasia, ikuti tatacara atau protokol, dokumentasi dan penyelenggaraan catatan, keterlibatan polisi, kewajiban hukum, dan persyaratan mengenai pelaporan.
Kualifikasi SDM Auditor. Untuk melaksanakan audit forensik maka sangatlah wajar bila seorang auditor harus memiliki talenta yang lebih dan memiliki kompetensi yang spesial. Berkaitan dengan hal tersebut auditor diwajibkan atau harus memiliki kompetensi akademis dan empiris sebagai bukti proses litigasi atau memberikan keterangan ahli di pengadilan saat proses hukum berjalan. Kompetensi auditor forensik maupun akuntan forensik tersebut sangat berkait erat dengan ketersediaan kemampuan audit atas permasalahan yang spesifik antara lain audit investigasi, kemampuan menghitung terjadinya kerugian keuangan Negara,  kemampuan mengendus dan mencegah kejahatan pencucian uang, kemampuan penelusuran asset Negara, kemampuan mengidentifikasi, menyikapi terjadinya risiko penyimpangan atau fraud, kemampuan untuk memahami terjadinya penyimpangan transaksi keuangan dan  dalam pengadaan barang-jasa pemerintah dan kemampuan lain yang mendukung dan relevan.
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) adalah “rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspeks pengetahuan, ketrampilan dan atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku” (Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP. 46/MEN/II/2009 tanggal   tentang penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Bidang Audit Forensik). Kompetensi kunci yang meliputi (i) mengumpulkan, menganalisis, dan mengorganisasikan informasi; (ii) mengkomunikasikan informasi dan ide-ide; (iii) Merencanakan dan mengorganisasikan aktivitas-aktivitas; (iv) Bekerja dengan orang lain dan kelompok; (v) menggunakan gagasan secara matematis dan teknis; (vi) memecahkan masalah; dan (vii) menggunakan teknologi.
Standar kompetensi seorang auditor meliputi bidang kemampuan untuk mencegah dan mendeteksi fraud (kecurangan), kemampuan melaksanakan audit forensik, kemampuan memberikan pernyataan secara keahlian dan kemampuan melaksanakan penghitungan kerugian keuangan dan penelusuran asset. Kadar pemahaman dan kemampuan keahlian tersebut utamanya terhadap penguasaan bidang-bidang dimaksud diatas, dalam upaya untuk mempersiapkan pelaksanaan tugas sebagai pemberi keterangan ahli (litigator) saat penanganan kasus tersebut masuk proses hukum di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR).
Selain hal tersebut, juga berkaitan erat dengan meningkatkan kemampuan dan ketrampilan dalam menggali informasi penting melalui komunikasi dan wawancara baik pada saat pelaksanaan audit maupun saat memberikan keterangan ahli di pengadilan saat proses hukum litigasi (litigation). Auditor dapat menghadapi tuntutan hukum dari pihak yang merasa dirugikan akibat kesalahan auditor yang mengambil simpulan dari fakta-fakta yang tidak lengkap. Sehingga auditor dalam melaksanakan tugasnya harus berpegang teguh pada standar audit dan kode etik, serta memperhatikan kerangka hukum formal yang berlaku, sehingga tidak menjadi boomerang dikemudian hari.
Dalam standar audit antara lain ditetapkan bahwa “audit dilaksanakan oleh auditor yang memiliki keahlian melaksanakan audit yang dibuktikan dengan sertifikat”. Dalam Modul Etika dan Fraud dalam audit yang dikeluarkan Pusdiklat BPKP bahwa pemilihan tenaga auditor perlu memperhatikan (i) idealnya tim audit terdiri dari orang-orang yang memahami budaya kegiatan/kebiasaan organisasi yang sedang diselidiki, (ii) tenaga auditor adalah orang-orang yang terlatih dan mengerti ilmu audit/akuntan, dan (iii) dipilih secara obyektif, tidak ada pilih kasih agar hasil audit maksimal
Selain mengacu pada ketentuan tersebut,  auditor forensik harus memiliki Sertikat Audit Forensik atau Certified Fraud Examiner (CFE) untuk sertifikasi dari Luar Negeri atau Certified Fraud Examiner (CFr.E) untuk sertifikasi dari lembaga Dalam Negeri. Dengan sertifikasi tersebut  menunjukkan seseorang dimaksud telah mempunyai kemampuan khusus atau spesialis dalam mencegah dan memberantas kejahatan perbankan atau fraud lainnya. Sertifikat CFE maupun CFr.E merupakan wujud sebuah pengakuan dengan standar tertinggi yang memiliki keahlian dalam semua aspek dari profesi anti fraud. Paling tidak sekurang-kurangnya seorang auditor forensik memiliki bekal kapabilitas kompetensi yang bersumber dari lembaga yang memiliki kapasitas dan akreditasi dalam melegitimasi kualitas SDM auditor forensik melalui pendidikan dan pelatihan pengembangan kompetensi dan kapabilitas auditor untuk melaksanakan tugas audit forensik yang dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi Auditor Forensik (LSPAF). Untuk auditor investigasi layak dipertimbangkan untuk mendapatkan sertifikasi dimaksud.
Tuntutan atas kemampuan auditor forensik untuk melaksanakan tugas harus didukung dengan kemampuan akademis (i) memiliki dasar akuntansi dan audit  yang kuat, (ii) Mengenal perilaku manusia dan organisasi (human dan organization behavior), (iii) Pengetahuan aspek pendorong terjadinya fraud (incentives, pressure, attitude, rationalization, opportunities), (iv) Pengetahuan tentang hukum dan perundangan terkait standar bukti keuangan  dan bukti hukum, (v) Pengetahuan kriminologi dan viktimologi (profiling), (vi) Pengetahuan terhadap pengendalian internal dan, (vii) Kemampun “berfikir seperti pencuri” /think as a theft maupun kemampuan lain yang relevan. Semakin lengkap kemampuan auditor akan semakin lancar dalam pelaksanaan tugasnya.
Kualifikasi yang harus dimiliki seorang akuntan forensik menurut Robert J. Lindquist  yang dikutip Theodorus M. Tuanakotta dalam Akuntansi Forensik dan Audit Investgatif, 2006 diantaranya (i) Kreatif-kemampuan untuk melihat sesuatu yang orang lain menganggap situasi bisnis yang normal dan mempertimbangkan insterpretasi lain;  (ii) rasa ingin tahu – keingin tahu untuk menemukan apa yang sesungguhnya terjadi dalam serangkaian peristiwadan situasi, (iii) tak menyerah – kemampuan untuk maju terus pantang mundur  walaupun fakta tidak mendukung, (iv) akal sehat – kemampuan untuk mempertahankan persfektif dunia nyata, (v) Business sense – kemampuan untuk memahami bisnis sesungguhnya  berjalan dan bukan sekedar memahami bagaimana transaksi dicatat. Dan (vi) percaya diri – kemampuan untuk mempercayai diri dan temuan kita sehingga kita dapat bertahan di bawah cross examination (pertanyaan silang dari jaksa penuntut umum dan pembela)
Dalam Summary of General and Specific Standards for the Profesional Practices of Forensic Accounting yang mencakup hal berikut :
1. Independensi, bahwa Akuntan forencsik tetap independen terhadap seluruh aktivitas yang direview (i)  Laporan dapat dipertanggungjawabkan; (ii) Objektivitas
2. Standarisasi Professional, mencakup (i) unsur stap; (ii) pengetahuan, ketrampilan, dan disiplin; (iii) supervisi; (iv) mematuhi standar atau pedoman; (v) hubungan antar manusia; (vi) komunikasi; (vii) edukasi yang berkelanjutan; (viii) prinsip kehati-hatian profesional.
3. Ruang lingkup pekerjaan, meliputi (i) keandalan dan integritas informasi, (ii) mentaati kebijakan, perencanaan, prosedur, perundangan, dan peraturan, (iii) pengamanan atas aset, (iv) penggunaan  sumberdaya secara ekonomis dan efisien, (v) obyektif menetapkan prestasi dan tujuan operasional atau program.
4. Performa atas  pekerjaan review
Benang merah konklusi atas uraian yang dapat disampaikan bahwa kedepan peran auditor forensik maupun akuntan forensik sangat dibutuhkan dalam rangka untuk mendeteksi dan membedah secara efektif terjadinya kecurangan (fraud) yang dapat memberikan hasil audit berupa alat bukti yang merupakan rekaman jejak kejadian perkara yang dapat memenuhi syarat ketentuan KUHAP Pasal 184 ayat (1). Demikian halnya, sekurang-kurangnya auditor forensik dan akuntan forensik harus mampu untuk memberikan konstribusi pemberantasan tindak pidana korupsi atau Korupsi-Kolusi-Nepotisme melalui pemberian peran pada tahap pencegahan akan terjadinya fraud melalui sosialisasi Corruption Orientation System Audit (COSA) dan tahap penindakan melalui audit investigatif.
Seberapa jauh kompatibilitas dan keandalan kita untuk melakukan audit forensik dalam rangka mendapatkan alat bukti sesuai ketentuan hukum yang berlaku dalam membedah fraud dan proses litigasi, mengingat domain kita merupakan aparat pengawasan internal kementerian yang notabene merupakan mata dan telinga dari manajemen puncak. Tentunya kondisi demikian tidak dapat lepas dari etika organisasi yaitu kebijakan dan keputusan manajemen puncak sangat menentukan langkah selanjutnya. Selain itu, perlu pemahaman atas kewenangan auditor hanya untuk mendapatkan bukti audit sesuai ketentuan, dan yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, sedangkan penetapan benar-tidaknya seseorang bersalah dan melanggar hukum acara merupakan wewenang aparat penegak hukum (APH). Harapan yang besar terhampar kedepan dengan dilakukannya audit forensik agar hasilnya dapat memberikan kunci masuk yang tepat dalam  rangka dapat membedah fraud secara legal dengan alat bukti yang dapat diterima sistem hukum pada litigasi di lembaga peradilan. (dahono)
Diolah dari materi Pendidikan dan Pelatihan Audit Forensik, BPKP Tahun 2012 dan materi dari sumber lain yang relevan.

Sumber :