Nama : Mukhlasin
Npm : 25211028
Kelas : 4EB10
audit forensik yang eksploratif untuk mendapatkan bukti yang dapat diterima oleh sistem hukum yang berlaku dalam menyelesaikan kecurangan
Cukup banyak definisi auditing. The American Accounting Association Committee on Basic Auditing Concepts mendifinisikan bahwa “A
Systematic process of objectively obtaining and evaluation evidence
regarding assertions the degree of correspondence between those
assertion and established criteria and communicating the result to
interested user” Auditing dapat diklasifikasikan dalam beberapa jenis yaitu audit laporan keuangan (General Financial Statement Audit), audit kepatuhan (compliance audit), audit manajemen atau operasional (management/operational audit), audit terhadap kecurangan (Fraud audit), audit keuangan yang lebih rinci, dan audit forensik (Forensic audit).
Belakangan ini audit ini makin mengemuka setelah maha kasus bailout
Bank Century belum terselesaikan, dilakukan forensic sesuai permintaan
legislatif dalam upaya menindaklanjuti hasil audit investigasi yang
dilaksanakan sebelumnya. Disisi lain, semakin marak terjadi femonena fraud
utamanya korupsi, bahkan Ketua Komisi Yudisial (KY) Mahmud MD dalam
salah satu media massa Koran Jakarta mengatakan sampai akhir Januari
2012 terdapat 167 kepala daerah maupun mantan yang secara resmi terlibat
korupsi. Fraud
merupakan kejahatan yang luar biasa, maka harus secara luar biasa pula
penanganannya, dibongkar dan dituntaskan melalui teknologi forensik
sehingga diperoleh alat bukti yang dapat diterima sistem hukum yang
berlaku.
Makna Forensik
Audit
forensik merupakan audit gabungan keahlian yang mencakup keahlian
akuntansi, auditing maupun bidang hukum/perundangan dengan harapan bahwa
hasil audit tersebut akan dapat digunakan untuk mendukung proses hukum
di pengadilan maupun kebutuhan hukum lainnya. Audit forensik dilakukan
dalam rangka untuk memberikan dukungan keahlian dalam proses legal
pemberian keterangan ahli dalam proses litigasi/litigation. Audit forensik yang sebelumnya dikenal dengan akuntansi forensik mengandung makna antara lain “yang berkenaan dengan pengadilan”. Selain itu, juga sesuatu yang berkenaan dengan penerapan pengetahuan ilmiah pada permasalahan hukum.
Menurut Editor in chief dari Journal of Forensic Accounting D. Larry Crumbley bahwa “secara
sederhana dapat dikatakan, bahwa akuntansi forensik adalah akuntansi
yang akurat untuk tujuan hukum, artinya akuntansi yang dapat bertahan
dalam kancah perseteruan selama proses pengadilan atau proses peninjauan
judisial atau administratif”. Secara makro
cakupan audit forensik meliputi investigasi kriminal, bantuan dalam
konteks perselisihan pemegang saham, masalah gangguan usaha (business interupstions)/jenis lain dan klaim assuransi, maupun business/employee fraud investigation.
Berkaitan dengan istilah fraud dalam judul tersebut dapat dimaknai sebagai serangkaian kata perbuatan yang melawan hukum/illegal acts yang
dilakukan dengan sengaja dan merugikan pihak lain. Perbuatan yang
merugikan tersebut antara lain bisa berbentuk korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN), kecurangan, penyelewengan, pencurian, penyogokan,
manipulasi, penggelapan, penjarahan, penipuan, penyelundupan, salah
saji. Perbuatan tersebut secara keseluruhan merupakan perbuatan yang
menyimpang etika dan kepatutan/abuse
Audit
investigasi mendahului forensik secara kontekstual, perlu ditingkatkan
pemahaman yang maknanya merupakan audit yang bersifat khusus utamanya
yang ditujukan untuk mengungkap kasus-kasus atau kecurangan maupun
penyimpangan-penyimpangan yang memiliki indikasi Kolusi, Korupsi dan
Nepotisme (KKN). Audit investigasi merupakan kegiatan pengumpulan fakta
dan bukti yang dapat diterima dalam sistim hukum yang berlaku dengan
tujuan untuk mengungkapkan terjadinya kecurangan/fraud.
Menurut Centre of International Crime Prevention/CICP dan UN Office for Drug Control and Crime Prevention (UN-ODCCP) mengelompokkan dalam 10 bentuk korupsi yaitu (i) Pemalsuan/Fraud, (ii) Penyuapan/Bribery, (iii) Penggelapan/Emblezzlement, (iv) Komisi/Commision, (v) Pemerasan/Extortion, (vi) Pilih kasih/Favoritism, (vii) Penyalahgunaan wewenang/Abuse of Discretion, (viii) Nepotisme/Nepotism, (ix) Bisnis orang dalam/Insider Trading, dan (x) Sumbangan Illegal/Illegal contribution
Kecurangan Terkini
Tindak pidana kecurangan semakin berkembang seiring dengan perkembangan inteligensia frauder
dan menyelaraskan dengan perkembangan ilmu dan teknologi informatika
modern digital elektronik. Sebagai contohnya adalah kecurangan dalam
bentuk pencucian uang/money laundering dan penggelapan asset.
Tentunya dibutuhkan peran lembaga yang mampu mengendus tindak kecurangan
lebih dini dengan menggunakan teknologi modern melalui sistem
lembaga-lembaga keuangan untuk menghentikan tindak pidana tersebut.
Frauder
akan berusaha mengamankan hasil kejahatannya antara lain dengan
merekayasa, menyamarkan dan menutupi/menyembunyikannya dari penegak
hukum. Namun demikian, auditor forensik harus menelusuri, menelisik
jejak hasil fraud yang sudah disamarkan atau dimanipulasikan
dalam bentuk asset lainnya sehingga diperoleh alat bukti yang handal dan
memadai dalam rangka proses litigasi. Upaya kamuflase hasil tindak
pidana kecurangan bisa melalui money laundering maupun penggelapan aset.
Pencucian uang/Money laundering. Merujuk
pada Undang Undang Nomor 15 tahun 2002 yang diubah dengan Undang Undang
Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) bahwa
Pencucian Uang/money laundering adalah “Perbuatan menempatkan,
menstransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyampaikan,
menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan,atau perbuatan lainnya atas harta kekayaannya yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan
maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan
sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
Tindak pidana tersebut melalui tiga proses yaitu penempatan/placement, pelapisan/layering, dan Integrasi/integration. Tahap Penempatan/placement merupakan upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana kedalam sistem keuangan (finansial system) atau upaya menempatkan uang giral kembali kedalam sistem perbankan (Bank, asel mahal, barang antik dan perhiasan). Tahap pelapisan/layering merupakan upaya untuk menstransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana/dirty money yang telah berhasil ditempatkan pada penyedia jasa keuangan (bank) sebagai hasil usaha penempatan (placement) ke penyedia jasa keuangan yang lain (menjual sekuritas yang lain). Tahap Integrasi/Integration
merupakan upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak
pidana yang telah berhasil masuk dalam sistem keuangan melalui
penempatan atau transfer, sehingga seolah-olah menjadiharta kekayaan
yang halal/clean money untuk kegiatan bisnis yang halal.
Tindak pidana tersebut secara ilustrasikal berikut
Dalam
rangka penanganannya tidak mudah dan dibutuhkan peran dari Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sesuai dengan UU No.
15 Tahun 20202 Pasal 18.
Penelusuran Asset/Assets Terracing. Penggelapan asset oleh frauder diretas dengan penelusuran dalam rangka recovery/pemulihan kerugian. Penelusuran asset/asset terracing merupakan
“suatu teknik yang digunakan oleh seorang investigator/auditor forensik
dengan mengumpulkan dan mengevaluasi bukti-bukti transaksi keuangan dan
non keuangan yang berkaitan dengan asset hasil perbuatan tindak pidana
korupsi dan atau tindak pidana pencucian uang yang disembunyikan oleh
pelaku untuk diidentifikasi, dihitung jumlahnya dan selanjutnya agar
dapat dilakukan pemblokiran/pembekuan dan penyitaan untuk pemulihan
kerugian akibat pelaku TPK dan atau tindak pidana pencucian uang.
Memperoleh bukti-bukti transaksi keuangan, dilakukan melalui
penggeledahan yang diawali dengan permintaan informasi dan koordinasi
dengan pihak terkait yang kompeten. Setelah penggeledahan menganalisis
bukti dan wawancara dengan tersangka. Menyita bukti-bukti transaksi dan
bukti yang tersimpan dalam perangkat lunak maupun perangkat keras
komputer, bahkan bukti-bukti dalam bentuk digitalis.
Teknik Penelusuran asset dengan Net worth method/metode kekayaan bersih (penghasilan kena pajak yang tidak dilaporkan; penghasilan yang tidak sah/melawan hukum, illegal income dari organized crime; dan penetapan net worth awal tahun). Rumusan Net Worth = Assets – Liabilities. Metode lainnya, Expenditure Methode untuk menentukan unreported taxeable income. Metode ini untuk wajib pajak yang tidak mengumpulkan harta benda, tetapi mempunyai pengeluaran besar.
Audit investigasi-forensik
Audit investigasi/forensik dapat merupakan pengembangan lebih lanjut
atas hasil audit operasional, audit kinerja yang memuat adanya indikasi
KKN dengan konsekuensi terjadinya kerugian keuangan negara, namun
demikian audit investigasi dapat juga didasarkan indikasi kerugian yang
tertayang sebagai berita dalam media massa maupun dalam laporan atau
pengaduan masyarakat.
Meskipun
merupakan audit yang bersifat khusus, namun demikian teknologi atau
metodologi auditnya dapat menggunakan teknik audit secara umum sesuai
dengan standar audit yang berlaku dengan menggunakan teknik audit yang
sifatnya eksploratif melalui (i) Pengujian terhadap fisik/physical examination yang meliputi penghitungan uang tunai, kertas berharga, persediaan barang, aktiva tetap dan barang berwujud lainnya, (ii) Meminta konfirmasi /confirmation dalam investigasi bahwa tindakan konfirmasi harus dikolaborasi-padukan dengan sumber lain/substained, (iii) Mengaudit dokumen atau buril /documentation termasuk dokumen digital, electrical dan lainnya.
Teknik audit selanjutnya adalah (iv) Reviu yang sifatnya analitis/analytical review
yaitu teknik menjawab terjadinya kesenjangan atas perbandingan yang
dihadapi dengan apa yang layaknya harus terjadi, (v) Meminta informasi
lisan atau tertulis dari pihak yang diaudit/inquiry of the auditee untuk mendukung masalah, (vi) Menghitung kembali/reperformance
yang mana penggunaan teknik ini dilakukan dengan menguji kebenaran
perhitungan (perkalian, pembagian, penambahan, pengurangan) dalam rangka
memberikan jaminan atas kebenaran secara aritmatikal, (vii) Mengamati/observation ini lebih menggunakan intuisi auditor terhadap kemungkinan adanya hal-hal yang disembunyikan.
Theodorus M. Tuanakotta menyampaikan
beberapa kondisi yang bisa mengidentifikasikan risiko terjadinya
kecurangan yaitu lemahnya manajemen yang tidak bisa menerapkan
pengendalian intern yang ada atau tidak bisa mengawasi proses
pengendalian; Pemisahan tugas yang tidak jelas, terutama yang berkaitan
dengan tugas-tugas pengendalian dan pengamanan sumberdaya;
Transaksi-transaksi yang tidak lazim dan tanpa penjelasan yang
memuaskan; Kasus dimana pegawai cenderung menolak liburan atau menolak
promosi; Dokumen-dokumennya hilang atau tidak jelas, atau manajemen
selalu menunda memberikan informasi tanpa alasan yang jelas; Informasi
yang salah atau membingungkan, dan pengalaman audit atau investigasi
yang lalu dengan temuan mengenai kegiatan-kegiatan yang perlu
dipertanyakan atau bersifat kriminal.
Seperti
telah disinggung dalam uraian tersebut bahwa audit ini tidak sama
dengan pelaksanaan audit secara umum, audit forensik lebih menekankan
pada hal-hal atau tindakan yang diluar kewajaran atau diluar kebiasaan
maupun yang seringkali dikatakan pengecualian maupun keanehan (exception, addities, irregularities) dan pola tindakan (pattern of conduct) daripada hal-hal yang sifatnya normatif yaitu kesalahan (error) dan keteledoran (ommisions) seperti audit umumnya. Dapat dikatakan bahwa audit forensik merupakan suatu metodologi dan pendekatan khusus dalam menilisik kecurangan (fraud), atau audit yang bertujuan untuk membuktikan ada atau tidaknya fraud yang dapat digunakan dalam proses litigasi.
Upaya
penajaman atas permasalahan dari audit investigasi melalui teknologi
forensik, terutama untuk menguji bahan bukti audit yang bersifat khusus
utamanya yang ditujukan untuk mengungkap kasus-kasus atau kecurangan
maupun penyimpangan-penyimpangan yang memiliki indikasi merugikan
keuangan Negara, modus operandi, pihak-pihak yang terlibat, peraturan
perundangan yang dikangkangi, kapan terjadinya kejadian, lokus kejadian,
kerugian yang ditimbulkan, dan alat bukti perkara sesuai dengan Pasal
184 ayat (1) KUHAP berupa keterangan saksi, keterangan ahli, bukti
surat, petunjuk, maupun keterangan terdakwa. Tentunya runtutan kejadian
perkara tersebut harus dituangkan dalam berita acara permintaan
keterangan (BAPK) dari pihak yang terkait dengan kejadian perkara
dimaksud.
Dalam
audit forensik ini secara normatif auditor dibebani tuntutan untuk
dapat memperoleh bukti dan alat bukti yang dapat mengungkap adanya
tindak pidana fraud. Selain itu, alat bukti
hasil audit forensik dimaksud untuk digunakan oleh aparat penegak hukum
(APH) untuk dikembangkan menjadi alat bukti yang sesuai dengan yang
tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) seperti
tersebut pada uraian diatas dalam rangka mendukung litigasi peradilan.
Alat bukti yang cukup dikembangkan tersebut selanjutnya dilakukan
analisis yang merupakan tanggungjawab auditor dalam upaya pembuktian
sampai menemukan alat bukti sesuai ketentuan, sedangkan penetapan
terjadinya fraud maupun salah tidaknya seseorang merupakan wewenang APH, dalam hal ini alat bukti dan keyakinan hakim pengadilan.
Bukti Tindak Pidana
Bukti
yang diperoleh auditor harus cukup, mengingat seringnya dampak yang
akan dihadapi oleh pihak-pihak yang terlibat dan bertanggungjawab dalam
kejadian kecurangan. Dan auditor dapat menghadapi tuntutan hukum dari
pihak yang merasa dirugikan akibat kesalahan auditor yang mengambil
simpulan dari fakta-fakta yang tidak lengkap. Standar audit Aparat
Pengawasan Fungsional Pemerintah (SA-APFP) SK Kepala Balai Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan No Kep.378/K/1996 tentang Standar Pelaksanaan
Audit APFP bahwa “ Bukti Audit yang relevan, kompeten dan cukup harus
diperoleh sebagai dasar yang memadai untuk mendukung pendapat simpulan
dan saran. Maknanya Relevan yaitu logis mendukung pendapat/kesimpulan;
Kompeten yaitu sah dan dapat diandalkan menjamin kesesuaian dengan
fakta, dan Cukup dalam arti jumlah bukti untuk menarik kesimpulan.
Mengumpulkan bukti. Tahapan untuk mendapatkan keyakinan bahwa bukti yang didapatkan/diidentifikasi dapat diandalkan (leading) atau tidak dapat diandalkan (misleading).
Bila tidak, maka harus dievaluasi untuk menentukan apakah audit harus
diselesaikan sebagaimana yang direncanakan. Bukti dapat diperoleh dari
saksi, korban dan pelaku; Pencarian dan penggeledahan; Penggunaan alat
bantu (computer), dan tenaga ahli
Evaluasi
bukti. Merupakan tahapan yang paling kritis sebab pada tahap ini akan
ditentukan diperluas atau tidaknya untuk mendapatkan informasi tambahan
sebelum simpulan diambil dan laporan disusun. Kegiatan mencakup evaluasi
relevansi dapat diterima dan kompetensi. Evaluasi bukti dilakukan bila
seluruh bukti terkait telah diperoleh. Hal ini dilakukan untuk (i)
menilai kasus terbukti atau tidak kebenarannya; (ii) evaluasi berkala
untuk menilai kesesuaian hipotesis dengan fakta yang ada, (iii) perlu
tidaknya pengembangan suatu bukti, (iv) antisipasi dengan urutan proses
kejadian (sequence) dan kerangka waktu kejadian/time frame). Teknis analisis bukti meliputi (i)
Find, (ii) Read and interpret documents, (iii) Determinate relevance,
(iv) verify the evidence, (v) assemble the evidence, dan (vi) Draw
conclusion.
Pembuktian Bukti
Pembuktian menurut KUHAP antara lain Pasal 183 menetapkan
bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melakukannya. Sedangkan
jenis alat bukti yang sah (I) keterangan saksi (Pasal 185, Pasal 1
butir 27); (ii) Keterangan Ahli (Pasal 187, Pasal 1 butir 28). (iii)
Surat (Pasal 187), (iv) Petunjuk (Pasal 186), (v) Keterangan Terdakwa
(Pasal 189). Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk menbuktikan
bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,
melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Pembuktian yang dilakukan pada Instansi penyidik dalam digambarkan dibawah ini
Selanjutnya,
hasil dari pembuktian ditingkat penyidikan dan berkasnya dengan
bukti-bukti yang cukup diserahkan kepada penuntut umum untuk diteliti
berkas perkaranya bila tidak cukup bukti dihentikan penuntutan. Sebaliknya, bila cukup bukti dilimpahkan ke pengadilan negeri untuk dilaksanakan pembuktian di persidangan.
Proses Pembuktian dalam persidangan secara lengkap digambarkan sebagai berikut
Prosedur audit forensik utamanya ditekankan pada analisis laporan /analytical review dan teknik wawancara mendalam/in depth interview
walaupun demikin masih juga tetap menggunakan teknis audit secara umum
pengecekan fisik, rekonsiliasi dan konfirmasi. Audit forensik difokuskan
pada area tertentu yang telah dipindai atau didugatengarai telah
terjadi tindak kecurangan baik dari laporan pihak dalam atau orang pihak
ketiga/tip off atau petunjuk terjadinya kecurangan/red flags, maupun dengan petunjuk lainnya.
Audit
forensik biasa dilakukan dengan melalui beberapa tahapan yaitu auditor
(i) memperoleh informasi awal fraud, (ii) memperoleh informasi tambahan
bila diperlukan, (ii) melakukan analisis layak tidaknya diinvestigasi
dari data yang tersedia, (iii) Menciptakan dan mengembangkan hipotesis-hipotesis yang didasarkan pada hasil analisis, (iv) Melakukan pengujian terhadap hipotesis, (v) memperbaiki maupun mengubah hipotesis berdasarkan hasil pengujian, (vi) mengumpulkan bukti-bukti fraud; (vii) evaluasi bukti-bukti, (viii) menyusun laporan LHF. Teknologi auditnya dapat memilih menggunakan (i) Melakukan audit fisik forensik, (ii) Melakukan konfirmasi atas hasil forensik, (iii) Audit buril atau dokumen yang terkait dengan kasus yang diforensik, (iv) Melakukan reviu secara analitikal atas kasus yang diforensik, (v) Meminta informasi lisan maupun tertulis atas kasus yang diforensik, (vii) Melakukan perhitungan ulang atas kasus forensik (reperformance), dan (viii) Melakukan pengamatan kasus forensik (observation).
Kertas
Kerja Investigasi (KKI) didokumentasikan secara baik. KKI berisi
catatan, analisis, simpulan terhadap pelaksanaan/pelaksanaan investigasi
yang menyangkut (i) penyimpangan dan penyebabnya; (ii) pengujian yang
telah dilaksanakan, (iii) Bukti informasi yang diperoleh, (iv) hasil
wawancara dan Berita Acara Permintaan Keterangan (BAPK), (v) Gambaran
tentang modus operandi; dan (vi) simpulan audit investigasi dan
rekomendasi.
Laporan
audit forensik yang utama adalah memuat informasi benar tidaknya fraud
yang dipindai terjadi dengan dukungan barang bukti maupun alat bukti
yang memadai sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku. Laporan dimaksud
nara sumber hanya menyebutkan simpulan benar tidaknya fraud telah
terjadi.
Standar dan Profesionalitas
Standar
Auditing. Dalam pelaksanaan auditing akuntan diikat dengan Standar
Profesional Akuntan Publik (SPAP) yaitu Standar Umum yaitu audit harus
dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan
pelatihan teknis cukup sebagai auditor; dalam semua hal yang berhubungan
dengan penugasan independensi sikap mental harus dipertahankan oleh
auditor, kemahiran professional-cermat dan seksama. Standar Pekerjaan
Lapangan yaitu jika digunakan asisten harus disupervisi
dengan sebaik-baiknya; kewajiban auditor memahami struktur pengendalian
internal; dan harus diperoleh bahan bukti kompeten dan cukup. Standar
pelaporan yaitu pendapat tentang kesesuaian dengan standar/prinsip
akuntansi umum; konsistensi sistem akuntansi; pengungkapan informatif
laporan keuangan harus cukup; dan pernyataan pendapat auditor.
Bagaimana dengan standar audit investigasi/forensik? Theodorus M Tuanakotta mengutip standar yang dirumuskan K.H. Spencer Pickett dan Jennifer Pickett dengan 7 (tujuh) standar untuk melakukan investigasi terhadap fraud, yaitu :
1. Seluruh investigasi harus dilandasi praktek terbaik yang diakui/accepted best practices)
2. Kumpulkan bukti-bukti dengan prinsip kehati-hatian/due care sehingga bukti-bukti tadi dapat diterima di pengadilan
3. Pastikan bahwa seluruh dokumentasi dalam keadaan aman, terlindungi dan diindeks; dan jejak audit tersedia.
4. Pastikan bahwa para investigator mengerti hak-hak azasi pegawai dan senantiasa menghormatinya.
5. Beban pembuktian ada pada yang “menduga” pegawainya melakukan kecurangan, dan pada “penuntut umum” yang mendakwa pegawai tersebut, baik dalam kasus hukum administratif maupun hukum pidana.
6. Cakup seluruh subtansi investigasi dan “kuasai” seluruh target yang sangat kritis ditinjau dari segi waktu.
7. Liput
seluruh tahapan kunci dalam proses investigasi, termasuk perencanaan,
pengumpulan bukti dan barang bukti, wawancara, kontak dengan pihak
ketiga, pengamanan mengenai hal-hal yang bersifat rahasia, ikuti
tatacara atau protokol, dokumentasi dan penyelenggaraan catatan,
keterlibatan polisi, kewajiban hukum, dan persyaratan mengenai
pelaporan.
Kualifikasi
SDM Auditor. Untuk melaksanakan audit forensik maka sangatlah wajar
bila seorang auditor harus memiliki talenta yang lebih dan memiliki
kompetensi yang spesial. Berkaitan dengan hal tersebut auditor
diwajibkan atau harus memiliki kompetensi akademis dan empiris sebagai
bukti proses litigasi atau memberikan keterangan ahli di pengadilan saat
proses hukum berjalan. Kompetensi auditor forensik maupun akuntan
forensik tersebut sangat berkait erat dengan ketersediaan kemampuan
audit atas permasalahan yang spesifik antara lain audit investigasi,
kemampuan menghitung terjadinya kerugian keuangan Negara, kemampuan
mengendus dan mencegah kejahatan pencucian uang, kemampuan penelusuran
asset Negara, kemampuan mengidentifikasi, menyikapi terjadinya risiko
penyimpangan atau fraud, kemampuan untuk memahami terjadinya
penyimpangan transaksi keuangan dan dalam pengadaan barang-jasa
pemerintah dan kemampuan lain yang mendukung dan relevan.
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) adalah
“rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspeks pengetahuan, ketrampilan
dan atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan
tugas dan syarat jabatan yang ditetetapkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangan yang berlaku” (Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi No. KEP. 46/MEN/II/2009 tanggal tentang penetapan Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Bidang Audit Forensik). Kompetensi
kunci yang meliputi (i) mengumpulkan, menganalisis, dan
mengorganisasikan informasi; (ii) mengkomunikasikan informasi dan
ide-ide; (iii) Merencanakan dan mengorganisasikan aktivitas-aktivitas;
(iv) Bekerja dengan orang lain dan kelompok; (v) menggunakan gagasan
secara matematis dan teknis; (vi) memecahkan masalah; dan (vii)
menggunakan teknologi.
Standar kompetensi seorang auditor meliputi bidang kemampuan untuk mencegah dan mendeteksi fraud
(kecurangan), kemampuan melaksanakan audit forensik, kemampuan
memberikan pernyataan secara keahlian dan kemampuan melaksanakan
penghitungan kerugian keuangan dan penelusuran asset. Kadar
pemahaman dan kemampuan keahlian tersebut utamanya terhadap penguasaan
bidang-bidang dimaksud diatas, dalam upaya untuk mempersiapkan
pelaksanaan tugas sebagai pemberi keterangan ahli (litigator) saat penanganan kasus tersebut masuk proses hukum di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR).
Selain
hal tersebut, juga berkaitan erat dengan meningkatkan kemampuan dan
ketrampilan dalam menggali informasi penting melalui komunikasi dan
wawancara baik pada saat pelaksanaan audit maupun saat memberikan
keterangan ahli di pengadilan saat proses hukum litigasi (litigation). Auditor
dapat menghadapi tuntutan hukum dari pihak yang merasa dirugikan akibat
kesalahan auditor yang mengambil simpulan dari fakta-fakta yang tidak
lengkap. Sehingga auditor dalam melaksanakan tugasnya harus berpegang
teguh pada standar audit dan kode etik, serta memperhatikan kerangka
hukum formal yang berlaku, sehingga tidak menjadi boomerang dikemudian
hari.
Dalam standar audit antara lain ditetapkan bahwa “audit dilaksanakan oleh auditor yang memiliki keahlian melaksanakan audit yang dibuktikan dengan sertifikat”. Dalam Modul Etika dan Fraud dalam audit yang dikeluarkan Pusdiklat BPKP bahwa pemilihan tenaga auditor perlu memperhatikan (i) idealnya tim audit terdiri dari orang-orang yang memahami budaya kegiatan/kebiasaan organisasi yang sedang diselidiki, (ii) tenaga auditor adalah orang-orang yang terlatih dan mengerti ilmu audit/akuntan, dan (iii) dipilih secara obyektif, tidak ada pilih kasih agar hasil audit maksimal
Selain mengacu pada ketentuan tersebut, auditor forensik harus memiliki Sertikat Audit Forensik atau Certified Fraud Examiner (CFE) untuk sertifikasi dari Luar Negeri atau Certified Fraud Examiner (CFr.E)
untuk sertifikasi dari lembaga Dalam Negeri. Dengan sertifikasi
tersebut menunjukkan seseorang dimaksud telah mempunyai kemampuan
khusus atau spesialis dalam mencegah dan memberantas kejahatan perbankan
atau fraud lainnya. Sertifikat CFE
maupun CFr.E merupakan wujud sebuah pengakuan dengan standar tertinggi
yang memiliki keahlian dalam semua aspek dari profesi anti fraud. Paling
tidak sekurang-kurangnya seorang auditor forensik memiliki bekal
kapabilitas kompetensi yang bersumber dari lembaga yang memiliki
kapasitas dan akreditasi dalam melegitimasi kualitas SDM auditor
forensik melalui pendidikan dan pelatihan pengembangan kompetensi dan
kapabilitas auditor untuk melaksanakan tugas audit forensik yang
dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi Auditor Forensik (LSPAF).
Untuk auditor investigasi layak dipertimbangkan untuk mendapatkan
sertifikasi dimaksud.
Tuntutan atas kemampuan auditor forensik untuk melaksanakan tugas harus didukung dengan kemampuan akademis (i) memiliki dasar akuntansi dan audit yang kuat, (ii) Mengenal perilaku manusia dan organisasi (human dan organization behavior), (iii) Pengetahuan aspek pendorong terjadinya fraud (incentives, pressure, attitude, rationalization, opportunities), (iv) Pengetahuan tentang hukum dan perundangan terkait standar bukti keuangan dan bukti hukum, (v) Pengetahuan kriminologi dan viktimologi (profiling), (vi) Pengetahuan terhadap pengendalian internal dan, (vii) Kemampun “berfikir seperti pencuri” /think as a theft maupun kemampuan lain yang relevan. Semakin lengkap kemampuan auditor akan semakin lancar dalam pelaksanaan tugasnya.
Kualifikasi yang harus dimiliki seorang akuntan forensik menurut Robert J. Lindquist yang dikutip Theodorus M. Tuanakotta dalam Akuntansi Forensik dan Audit Investgatif, 2006 diantaranya (i) Kreatif-kemampuan
untuk melihat sesuatu yang orang lain menganggap situasi bisnis yang
normal dan mempertimbangkan insterpretasi lain; (ii) rasa ingin tahu –
keingin tahu untuk menemukan apa yang sesungguhnya terjadi dalam
serangkaian peristiwadan situasi, (iii) tak menyerah – kemampuan untuk maju terus pantang mundur walaupun fakta tidak mendukung, (iv) akal sehat – kemampuan untuk mempertahankan persfektif dunia nyata, (v) Business sense – kemampuan untuk memahami bisnis sesungguhnya berjalan dan bukan sekedar memahami bagaimana transaksi dicatat. Dan (vi) percaya diri – kemampuan untuk mempercayai diri dan temuan kita sehingga kita dapat bertahan di bawah cross examination (pertanyaan silang dari jaksa penuntut umum dan pembela)
Dalam Summary of General and Specific Standards for the Profesional Practices of Forensic Accounting yang mencakup hal berikut :
1. Independensi, bahwa
Akuntan forencsik tetap independen terhadap seluruh aktivitas yang
direview (i) Laporan dapat dipertanggungjawabkan; (ii) Objektivitas
2. Standarisasi Professional, mencakup (i)
unsur stap; (ii) pengetahuan, ketrampilan, dan disiplin; (iii)
supervisi; (iv) mematuhi standar atau pedoman; (v) hubungan antar
manusia; (vi) komunikasi; (vii) edukasi yang berkelanjutan; (viii)
prinsip kehati-hatian profesional.
3. Ruang
lingkup pekerjaan, meliputi (i) keandalan dan integritas informasi,
(ii) mentaati kebijakan, perencanaan, prosedur, perundangan, dan
peraturan, (iii) pengamanan atas aset, (iv) penggunaan sumberdaya
secara ekonomis dan efisien, (v) obyektif menetapkan prestasi dan tujuan
operasional atau program.
4. Performa atas pekerjaan review
Benang
merah konklusi atas uraian yang dapat disampaikan bahwa kedepan peran
auditor forensik maupun akuntan forensik sangat dibutuhkan dalam rangka
untuk mendeteksi dan membedah secara efektif terjadinya kecurangan (fraud) yang
dapat memberikan hasil audit berupa alat bukti yang merupakan rekaman
jejak kejadian perkara yang dapat memenuhi syarat ketentuan KUHAP Pasal
184 ayat (1). Demikian halnya, sekurang-kurangnya auditor forensik dan
akuntan forensik harus mampu untuk memberikan konstribusi pemberantasan
tindak pidana korupsi atau Korupsi-Kolusi-Nepotisme melalui pemberian
peran pada tahap pencegahan akan terjadinya fraud melalui sosialisasi Corruption Orientation System Audit (COSA) dan tahap penindakan melalui audit investigatif.
Seberapa
jauh kompatibilitas dan keandalan kita untuk melakukan audit forensik
dalam rangka mendapatkan alat bukti sesuai ketentuan hukum yang berlaku
dalam membedah fraud dan proses litigasi, mengingat domain kita
merupakan aparat pengawasan internal kementerian yang notabene
merupakan mata dan telinga dari manajemen puncak. Tentunya kondisi
demikian tidak dapat lepas dari etika organisasi yaitu kebijakan dan
keputusan manajemen puncak sangat menentukan langkah selanjutnya. Selain itu, perlu pemahaman atas kewenangan
auditor hanya untuk mendapatkan bukti audit sesuai ketentuan, dan yang
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, sedangkan penetapan
benar-tidaknya seseorang bersalah dan melanggar hukum acara merupakan
wewenang aparat penegak hukum (APH). Harapan yang besar terhampar
kedepan dengan dilakukannya audit forensik agar hasilnya dapat
memberikan kunci masuk yang tepat dalam rangka dapat membedah fraud secara legal dengan alat bukti yang dapat diterima sistem hukum pada litigasi di lembaga peradilan. (dahono)
Diolah dari materi Pendidikan dan Pelatihan Audit Forensik, BPKP Tahun 2012 dan materi dari sumber lain yang relevan.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar