Halaman

Senin, 18 November 2013

Kehidupan Pemulung di Jakarta

TUGAS SOFTSKILL BAHASA INDONESIA

MUKHLASIN
25211028
3EB10


Potret Hidup Para Pemulung di Jakarta


Ada rasa bangga mendengar nama “Jakarta”. Ibu kota negara, tempat bertugas para menteri dan presiden, tempat bekerja dari para wakil rakyat, tempat tinggal orang-orang kaya di Indonesia, tempat beredarnya sebagian besar uang di negeri ini. Di balik deretan sebutan itu, ternyata Jakarta memiliki potret yang menyeramkan. Apakah itu?
Jakarta menjadi tempat tinggal orang terkaya dan termiskin di Indonesia. Untuk sebutan terkaya, bukan hal baru dan aneh lagi. Orang kaya memang pada umumnya memilih tempat tinggal yang nyaman. Salah satunya adalah Jakarta.
Sebutan termiskin kiranya tidak salah dialamatkan kepada para pemulung dan pengemis di negeri ini. Lihat saja beberapa foto hasil jepretan teman saya beberapa waktu lalu. Ini hanya beberapa potret yang kiranya mewakili penderitaan di negeri ini.

Pemulung di Stasiun Senen pada umumnya bertempat tinggal di sekitar rel kereta api. Mereka mendirikan lapak ala kadarnya yang kadang-kadang, dalam waktu tak terduga digusur oleh petugas pol PP.
Tempat ini dipilih demi efektivitas bekerja. Sebagian besar dari mereka adalah pencari rezeki di gerbong kereta. Kereta yang datang dari daerah Jawa Tengah seperti Solo, juga Yogyakarta, dan Malang, Jawa Timur menjadi target pemulung. Di kereta-kereta ini, mereka biasanya memungut botol mimunan ringan seperti aqua, mizon, dan sebagainya. Botol-botol ini dijual lagi untuk memperoleh uang.
Selain botol, mereka juga biasanya memungut koran bekas dan gardus yang digunakan sebagai alas tidur di kereta. Gardus bekas dijual dengan harga mulai Rp. 5000 per kilo gram. Sedangkan koran bekas biasanya dilipat lagi dengan rapi dan kemudian dijual dengan harga sekitar Rp. 1000 sampai Rp. 2000 untuk dijadikan kipas angin. Selain itu, kadang-kadang mereka mengambil makanan dan minuman sisa untuk sarapan. Kereta biasanya datang mulai pukul 2 sampai 5/6 pagi.
Penulis pernah tinggal dengan mereka pada awal tahun 2007 yang lalu. Rasanya jijik dan muak melihat pekerjaan dan tempat tinggal mereka. Tetapi, beginilah kalau mau merasakan kehidupan mereka secara langsung mesti tinggal dengan mereka.
Waktu 2 minggu menjadi waktu yang menyenangkan pada saat itu. Meski kami bekerja cukup sulit, kami mendapatkan uang yang cukup untuk membeli makanan sehari-hari. Penulis bersama beberapa teman menginap di rumah salah seorang pemulung senior. Praktisnya, kami bekerja sesuai ritme kehidupan mereka. Bangun  pagi-pagi, mulung, mandi, sarapan, istirahat, jual koran, nonton TV, tidur lagi pada malam harinya.
Kelihatannya hidup kami (saya dan para pemulung) amat menderita karena tidak mempunyai pekerjaan tetap. Tetapi, dalam penderitaan itu, kami menemukan kebahagiaan. Kami menjalin relasi antar-pemulung. Kalau seorang mendapat rezeki, yang lainnya kekurangan, kami biasanya bersolider dengan membagi rezeki itu. Solidaritas inilah yang mengenang dalam benak saya.
Kami tidak hanya memulung, kalau siang hari, kami menonton TV sambil membersihkan botol dan gelas aqua untuk dijual lagi. Atau juga sambil merapikan kertas koran untuk dijual kembali. Kalau ada rezeki banyak, kami juga membeli makanan spesial dari rumah makan terdekat, lalu bergembira bersama dalam pesta kecil-kecilan.

Pemulung sebenarnya mempunyai cukup rezeki dibandingkan para pengemis yang hanya meminta. Hanya saja-yang saya lihat-pemulung di Stasiun Senen pada umumnya, tidak mempunyai budaya menabung. Kalau hari ini dapat uang banyak, uang itu dihabiskan pada hari itu juga. Prinsip mereka praktis sekali, hidup untuk hari ini. Besok, akan ada rezeki lagi.

Menteri Sosial  (Mensos), Salim Segaf Al Jufri mengatakan, kehidupan para pemulung yang sehari-hari memanfaatkan gerobak sebagai tempat tinggal sangat tidak manusiawi.   

"Kehidupan mereka tidak manusiawi, terutama anak-anak mereka terpaksa tidak sekolah. Tumbuh kembangnya juga tidak sehat," kata Mensos di Jakarta, Minggu (28/7).   

Menurut Mensos, solusi yang paling bagus adalah memulangkan mereka ke daerah asalnya dan diberdayakan.   

"Kita akan data mereka saya lihat ada sekitar 260 jiwa mereka yang tinggal di gerobak. Di Jakarta sekitar 1.200 jiwa pemulung jadi jumlahnya tidak begitu banyak yang digerobak, saya kira bisa cepat ditangani," tambah Mensos.   

Mensos mengatakan hal tersebut saat berbuka puasa dengan ratusan pemulung yang tinggal di gerobak. Sebelum berbuka puasa bersama, Mensos juga berdialog dengan mereka.   

Menurut Mensos, buka puasa bersama para pemulung itu untuk mendeteksi dan melihat langsung apa yang bisa dilakukan untuk membantu meningkatkan taraf hidup mereka.   

"Kalau saya lihat mereka mau kembali ke daerah tapi dengan catatan ada pekerjaan dan dicarikan tempat tinggal. Mereka juga tidak mau hidup selama seperti ini," tutur Mensos.   

Lebih lanjut Mensos mengatakan, penyelesaian masalah para pemulung tersebut harus komprehensif karena mereka juga saudara-saudara sebangsa dan anak-anak mereka juga generasi penerus.   

"Semakin cepat mereka dipulangkan semakin baik, kita harapkan setelah Lebaran (Idul Fitri 1434 H) mereka bisa dipulangkan," ucap Mensos. [Ant/L-8]


Referensi:
http://sosbud.kompasiana.com/2012/04/05/potret-hidup-para-pemulung-di-stasiun-senen-jakarta-pusat-451984.html
http://www.suarapembaruan.com/home/kehidupan-pemulung-gerobak-tidak-manusiawi/39131

Tidak ada komentar:

Posting Komentar