Nama : Mukhlasin
Npm : 25211028
Kelas : 4EB10
Pengertian Good Corporate Governance Menurut Para Ahli
Ada berbagai pengertian Good Corporate Governance yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Corporate governance merupakan seperangkat tata hubungan diantara manajemen perseroan, direksi, komisaris, pemegang saham dan para pemangku kepentingan lainnya. (OECD dalam Leo J. Susilo dan Karlen Simarmata, 2007:17)
- Corporate governance sebagai proses dan struktur yang diterapkan dalam menjalankan perusahaan, dengan tujuan utama meningkatkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders yang lain. (IICG dalam G. Suprayitno, et all, 2004:18)
- Corporate governance adalah suatu konsep yang menyangkut struktur perseroan, pembagian tugas, pembagian kewenangan dan pembagian beban tanggung jawab dari masing-masing unsur yang membentuk struktur perseroan, dan mekanisme yang harus ditempuh oleh masing-masing unsur dari perseroan tersebut, serta hubungan-hubungan antara unsur-unsur dari struktur perseroan itu mulai dari RUPS, direksi, komisaris, juga mengatur hubungan-hubungan antara unsur-unsur dari struktur perseroan dengan unsur-unsur di luar perseroan yang pada hakekatnya merupakan stakeholders dari perseroan, yaitu negara yang sangat berkepentingan akan perolehan pajak dari perseroan yang bersangkutan, dan masyarakat luas yang meliputi para investor publik dari perseroan itu (dalam hal perseroan merupakan perusahaan publik), calon investor, kreditor dan calon kreditor perseroan. Corporate governance adalah suatu konsep yang luas. (Sutan Remy Sjahdeini, 1999:1)
- Good Corporate Governance adalah suatu tata kelola bank yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness). (Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum).
Berdasarkan uraian mengenai corporate governance tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa Good Corporate Governance adalah suatu sistem
pengelolaan perusahaan yang dirancang untuk meningkatkan kinerja
perusahaan, melindungi kepentingan stakeholders dan meningkatkan
kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan serta nilai-nilai etika
yang berlaku secara umum.
Prinsip-prinsip Good Corporate Governance
Dalam praktik corporate governance berbeda disetiap negara dan
perusahaan karena berkaitan dengan sistem ekonomi, hukum, struktur
kepemilikan, sosial dan budaya. Perbedaan praktik ini menggambarkan
perbedaan dalam kekuatan suatu kontrak, sikap politik pemilik saham dan
hutang. Dengan demikian beberapa aturan, pedoman, atau prinsip yang
digunakan dalam pelaksanaan corporate governance juga akan berbeda (G.
Suprayitno, et all, 2000:18). Konsentrasi kepemilikan, ukuran
perusahaan, dan jenis perusahaan akan mempengaruhi kualitas implementasi
Good Corporate Governance perusahaan (Deni Darmawati, 2006). Selain
itu, pelaksanaan prinsip-prinsip dasar GCG harus mempertimbangkan
karakter setiap perusahaan seperti besarnya modal, pengaruh dari
kegiatannya terhadap masyarakat dan lain sebagainya. (Wilson Arafat,
2008:9)
Prinsip-prinsip mengenai corporate governance memiliki banyak versi,
namun pada dasarnya mempunyai banyak kesamaan. Untuk penelitian ini
prinsip-prinsip Good Corporate Governance yang digunakan adalah
prinsip-prinsip yang dikenal sebagai “TARIF” (transparency,
accountability, responsibility, independency, fairness).
Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 bagian penjelasan umum memberikan definisi prinsip-prinsip GCG sebagai berikut:
“Pertama transparansi (transparency) diartikan sebagai keterbukaan
dalam mengemukakan informasi yang materil dan relevan serta keterbukaan
dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan. Kedua, akuntabilitas
(accountability) yaitu kejelasan fungsi dan pertangungjawaban bank
sehingga pengelolaannya berjalan efektif. Ketiga, pertanggungjawaban
(responsibility) yaitu kesesuaian pengelolaan bank dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan prinsip pengelolaan bank yang sehat.
Keempat, independensi (independency) yaitu pengelolaan bank secara
profesional tanpa pengaruh/tekanan dari pihak manapun. Kelima, kewajaran
(fairness) yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak
stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
Pedoman Good Corporate Governance Perbankan Indonesia (2004) yang
dikeluarkan Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG)
mempaparkan mengenai arti dari kelima prinsip tersebut, yakni:
“Sebagai lembaga intermediasi dan lembaga kepercayaan, dalam
melaksanakan kegiatan usahanya harus menganut prinsip keterbukaan
(transparency), memiliki ukuran kinerja dari semua jajaran bank
berdasarkan ukuran-ukuran yang konsisten dengan corporate value, sasaran
usaha dan strategi bank sebagai pencerminan akuntabilitas bank
(accountability), berpegang pada prudential banking practices dan
menjamin dilaksanakannya ketentuan yang berlaku sebagai wujud tanggung
jawab bank (responsibility), objektif dan bebas dari tekanan pihak
manapun dalam pengambilan keputusan (independency), serta senantiasa
memperhatikan kepentingan seluruh stakeholders berdasarkan azas
kesetaraan dan kewajaran (fainess)”.
Pedoman tersebut merinci konsepsi dari kelima prinsip GCG, yakni:
1. Keterbukaan (Transparency)
a. Bank harus mengungkapkan infomasi secara tepat waktu, memadai,
jelas, akurat dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh
stakeholders sesuai dengan haknya.
b. Informasi yang harus diungkapkan meliputi tetapi tidak terbatas
pada hal-hal yang bertalian dengan visi, misi, sasaran usaha, dan
strategi perusahaan, kondisi keuangan, susunan dan kompensasi pengurus,
pemegang saham pengendali, cross shareholding, pejabat eksekutif,
pengeloaan risiko (risk management), sistem dan pelaksanaan GCG serta
keterjadian penting yang dapat mempengaruhi kondisi bank.
c. Prinsip keterbukaan yang dianut oleh bank tidak mengurangi
kewajiban untuk memenuhi ketentuan rahasia bank sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, rahasia jabatan, dan hak-hak pribadi.
d. Kebijakan bank harus tertulis dan dikomunikasikan kepada pihak yang
berkepentingan (stakeholders) dan yang berhak memperoleh informasi
tentang kebijakan tersebut.
2. Akuntabilitas (Accountability)
a. Bank harus menetapkan tanggung jawab yang jelas dari masing-masing
organ organisasi yang selaras dengan visi, misi, sasaran usaha dan
strategi perusahaan.
b. Bank harus meyakini bahwa semua organ organisasi bank mempunyai
kompetensi sesuai dengan tanggung jawabnya dan memahami perannya dalam
pelaksanaan GCG.
c. Bank harus memastikan terdapatnya check and balance system dalam pengelolaan bank.
d. Bank harus memiliki ukuran kinerja dari semua jajaran bank
berdasarkan ukuran-ukuran yang disepakati konsisten dengan nilai
perusahaan (corporate values), sasaran usaha dan strategi bank serta
memiliki reward and punishment system.
3. Tanggung Jawab (Responsibility)
a. Untuk menjaga kelangsungan usahanya, bank harus berpegang pada
prinsip kehati-hatian (prudential banking practices) dan menjamin
dilaksanakannya ketentuan yang berlaku.
b. Bank harus bertindak sebagai good corporate citizen (warga
perusahaan yang baik) termasuk peduli terhadap lingkungan dan
melaksanakan tanggung jawab sosial.
4. Independensi (Independency)
a. Bank harus menghindari terjadinya dominasi yang tidak wajar oleh
stakeholder manapun dan tidak terpengaruh oleh kepentingan sepihak serta
bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest).
b. Bank dalam mengambil keputusan harus objektif dan bebas dari segala tekanan dari pihak manapun.
5. Kewajaran (Fainess)
a. Bank harus senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh
stakeholders berdasarkan azas kesetaraan dan kewajaran (equal
treatment).
b. Bank harus memberikan kesempatan kepada seluruh stakeholders untuk
memberikan masukan dan menyampaikan pendapat bagi kepentingan bank serta
mempunyai akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip keterbukaan.
Menurut Christian Herdinata (2008), prinsip-prinsip GCG memegang peranan penting, antara lain:
1. Pemenuhan informasi penting yang berkaitan dengan kinerja suatu
perusahaan sebagai bahan pertimbangan bagi para pemegang saham atau
calon investor untuk menanamkan modalnya;
2. Perlindungan terhadap kedudukan pemegang saham dari penyalahgunaan
wewenang dan penipuan yang dapat dilakukan oleh direksi atau komisaris
perusahaan;
3. Perwujudan tanggung jawab perusahaan untuk mematuhi dan menjalankan
setiap aturan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan di
negara asalnya atau tempatnya berdomisili secara konsisten, termasuk
peraturan dibidang lingkungan hidup, persaingan usaha, ketenagakerjaan,
perpajakan, perlindungan konsumen, dan sebagainya.
Good Corporate Governance akan memberikan empat manfaat besar (Wilson Arafat, 2008:10), yaitu:
1. Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses
pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi
operasional perusahaan serta lebih meningkatkan pelayanan kepada
stakeholders.
2. Meningkatkan corporate value.
3. Meningkatkan kepercayaan investor.
4. Pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan karena
sekaligus akan meningkatkan shareholder’s value dan dividen.
Pedoman Good Corporate Governance
Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), GCG diperlukan untuk
mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan dan konsisten
dengan peraturan perundang-undangan. Penerapan GCG perlu didukung oleh
tiga pilar yang saling berhubungan, yaitu negara dan perangkatnya
sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat
sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha. Prinsip dasar yang harus
dilaksanakan oleh masing-masing pilar adalah:
1. Negara dan perangkatnya menciptakan peraturan perundang-undangan
yang menunjang iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan,
melaksanakan peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum secara
konsisten (consistent law enforcement).
2. Dunia usaha sebagai pelaku pasar menerapkan GCG sebagai pedoman dasar pelaksanaan usaha.
3. Masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha serta
pihak yang terkena dampak dari keberadaan perusahaan, menunjukkan
kepedulian dan melakukan kontrol sosial (social control) secara obyektif
dan bertanggung jawab.
Stijn Claessen dan Charles P. Oman sebagaimana dikutip oleh Leo J.
Susilo dan Karlen Simarmata (2007:15) melihat bahwa corporate governance
mempunyai dua aspek:
1. Aspek pertama berkaitan dengan pola hubungan dan perilaku aktor
dalam perseroan. Perilaku manajemen dengan karyawan; perilaku perseroan
dengan pemasok, dengan kreditor, dan lain-lain. Indikator yang digunakan
untuk melihat bagaimana perilaku ini memberikan manfaat adalah
bagaimanakah tingkat efisiensi perusahaan, bagaimanakah kinerja
perusahaan, pertumbuhan, perlakuan kepada pemegang saham dan pemangku
kepentingan, dan lain-lain. Aspek ini disebut aspek perilaku korporasi
dan sasarannya adalah peningkatan kinerja (performance).
2. Aspek kedua berkaitan dengan seperangkat peraturan dan norma
yang membentuk perilaku di atas. Hal ini meliputi hukum perusahaan,
peraturan perundang-undangan lainnya, standar dan norma, seperti kode
etik profesi, pedoman etika korporasi, dan lain-lain. Semua ini disebut
aspek normatif dari corporate governance dan sasarannya adalah kepatuhan
(comformance).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka diperlukan adanya perangkat hukum
atau pedoman dalam mengimplementasikan Good Corporate Governance. Di
Indonesia, pemerintah melalui Keputusan Menteri Koordinator Ekonomi,
Keuangan dan Industri No. Kep/31/M.EKUIN/08/1999, telah membentuk suatu
badan yang diberi nama Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance
(KNKCG)). Komite Nasional ini bertugas untuk merumuskan dan
merekomendasikan kebijakan nasional mengenai pengelolaan perusahaan.
Komite Nasional ini telah merumuskan suatu Kerangka Kerja Good Corporate
Governance atau Pedoman Good Corporate Governance.
Pedoman Good Corporate Governance yang dikeluarkan KNKCG telah beberapa
kali disempurnakan, yakni pada tahun 2001 dan 2006. Berdasarkan
pemikiran bahwa suatu sektor ekonomi tertentu cenderung memiliki
karakteristik yang tidak sama, maka pada awal tahun 2004 dikeluarkan
Pedoman GCG Perbankan Indonesia.
Untuk industri perbankan Indonesia saat ini terdapat tiga dokumen yang
dapat dijadikan acuan penerapan GCG pada bank umum. (Leo J. Susilo dan
Karlen Simarmata, 2007:76). Sesuai dengan tahun terbitnya, ketiga
dokumen tersebut adalah:
1. “Enhanching Corporate Governance for Banking Organization” yang
diterbitkan pertama kali tahun 1999 oleh Basel Committee on Banking
Supervisoion, Bank for International Settlement, dan direvisi pada bulan
Februari 2006;
2. “Pedoman Good Corporate Governance Perbankan Indonesia” yang
diterbitkan oleh Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG)
pada bulan Januari 2004;
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/14/PBI/2006 tentang perubahan PBI
No. 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank
Umum, yang dikeluarkan pada tanggal 30 Januari dan 5 Oktober 2006.
Pedoman dari Basel Committee bersifat imperatif secara moral, karena
anggota Bank for International Settlement (BIS) adalah bank-bank sentral
dari berbagai negara, termasuk Bank Indonesia. Pedoman dari KNKCG
bersifat sukarela dan tidak mempunyai sifat mengikat maupun imperative
bagi bank umum serta berfungsi sebagai acuan saja. Sedangkan pedoman
penerapan GCG yang diterbitkan Bank Indonesia selaku otoritas pengawas
bank di Indonesia mempunyai kekuatan mengikat secara hukum.
Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia tersebut maka Bank Umum
wajib melaksanakan GCG. Apabila tidak dipatuhi akan dikenakan sanksi.
Namun, sekiranya pedoman tersebut bukan dianggap sebagai tempelan saja,
sekedar untuk memenuhi persyaratan seperti yang diunggapkan oleh Wilson
Arafat (2008:37) bahwa perbankan masih memandang GCG sebatas beban yang
merepotkan alias regulation as barrier, sama sekali tidak menyambut GCG
sebagai sebuah keniscayaan. Padahal GCG bukan sekedar proses dan
prosedur control ataupun peraturan ‘mati’ an sich. Lebih dari semua itu
pelaksanaan GCG sejati adalah merupakan sebuah produk budaya perusahaan.
Hal lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah penyelarasan dari
prinsip-prinsip yang dituangkan dalam pedoman-pedoman GCG di atas dengan
kebijakan manajemen (management policy) dan pedoman operasional
(standard operating procedures) lain (Leo J. Susilo dan Karlen
Simarmata, 2007:24). Selain itu, perusahaan dapat membuat Code of
Corporate and Business Conduct sebagai pedoman bagi seluruh karyawan dan
pimpinan perusahaan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari (Muh. Arief
Effendi, 2005). Wujudnya berupa kodifikasi kebijakan perusahaan,
peraturan pegawai, dan kesepakatan yang telah dibuat bersama antara
perusahaan dengan pegawai yang harus dijadikan pedoman sewaktu
menjalankan aktivitas perusahaan sesuai dengan prinsip-prinsip GCG.
(Wilson Arafat, 2008:36)
Leo J. Susilo dan Karlen Simarmata (2007:136) mengemukakan bahwa
terdapat tiga kelompok pelaku kegiatan dalam pelaksanaan GCG pada bank
umum. Kelompok pertama terdiri dari organ perseroan dan organ pendukung,
atau secara sederhana disebut boards. Kelompok ini terdiri dari RUPS,
Direksi, Komisaris, Komite Audit, Komite Nominasi dan Renumerasi, Komite
Pemantau Risiko, komite lainnya dari komisaris, bila ada dan Satuan
Kerja Audit Intern atau Satuan Pengawas Intern. Sedangkan kelompok kedua
merupakan seluruh jajaran karyawan atau disebut sebagai
enterprise-wide, yang menjadi sarana Direksi untuk melaksanakan tugas
pengelolaan perusahaan. Kelompok ketiga adalah pihak luar atau
stakeholders, yaitu regulator, nasabah, dan lain sebagainya yang
berinteraksi dengan baik.
Ketiga kelompok pelaku di atas terlibat dalam berbagai aktivitas pelaksanaan GCG untuk memastikan:
1. Kepatuhan (Compliance) terhadap peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Setiap kebijakan corporate governance atau kebijakan
perusahaan harus mengacu dan tunduk pada berbagai peraturan
perundang-undangan yang berlaku (regulatory driven).
2. Kesesuaian (Comformance) antara berbagai kebijakan corporate
governance termasuk pedoman etika usaha dan etika kerja dengan kebijakan
manajemen dan berbagai prosedur kerja yang diberlakukan dalam rangka
menggerakkan proses bisnis perusahaan. Dalam proses ini, terjadi
internalisasi prinsip-prinsip GCG dan nilai-nilai etika kedalam proses
bisnis maupun sikap kerja sehari-hari yang pada gilirannya akan muncul
suatu budaya GCG dalam perusahaan (ethics driven).
3. Pencapaian kinerja (Performance), baik itu kinerja perusahaan,
unit bisnis, departemen, seksi dan seluruh jajaran baik secara kolektif
maupun perorangan mulai dari level Komisaris, Direksi, sampai kepada
karyawan level paling terendah (market driven).
Kekhususan Good Corporate Governance pada Bank
Secara sepintas nampaknya penerapan GCG di bank umum tidak berbeda
dengan perusahaan lainnya, akan tetapi tidaklah demikian halnya. Good
Corporate Governance pada lembaga keuangan, khususnya bank memiliki
keunikan bila dibandingkan governace pada lembaga keuangan non bank.
Dalam banyak perilaku manajer dan pemilik bank merupakan faktor utama
yang memerlukan perhatian dalam penerapan GCG. Dalam banyak hal konsep
teori keagenan (agency theory) yang sering digunakan dalam penerapan GCG
tidak sepenuhnya dapat digunakan dalam industri perbankan.
Ross Levine sebagaimana dikutip oleh Leo J. Susilo dan Karlen Simarmata
(2007:63) menyatakan bahwa bank pada dasarnya mempunyai dua ciri khas
yang tidak terdapat pada jenis industri lainnya yaitu:
1. Informasi Asimetri dalam Industri Perbankan
Informasi yang asimetri pada industri perbankan mempunyai dimensi dan
kompleksitas yang lebih tinggi dari industri lainnya. Asimetri ini
terjadi diantara deposan, manajer bank, pengurus bank, debitor,
pemilik/pemegang saham, bank dan regulator. Semakin besar informasi
asimetri antara pihak luar bank dan pihak dalam bank, maka akan semakin
sulit bagi pihak luar untuk memonitor kinerja governance bank. Hal ini
menjadi semakin sulit karena deposan dan debitor yang sangat banyak
jumlahnya dan tersebar (diffuse). Bila jumlah pemegang saham juga banyak
dan tersebar, maka kompleksitasnya akan semakin bertambah. Bila
terdapat pemegang saham pengendali yang dominan, pengendalian manajemen
akan lebih mudah, akan tetapi juga terdapat bahaya adanya misconduct,
fraud atau penyalahgunaan bank dan dana masyarakat untuk kepentingan
pribadi atau kelompok usahanya. Informasi keuangan yang asimetri ini
adalah sumber risiko yang tinggi, baik risiko kredit, risiko operasional
maupun risiko hukum serta menjadi salah satu sumber utama terjadinya
kejahatan perbankan.
2. Peran Regulasi dalam Corporate Governance Perbankan
Peran regulator dalam industri perbankan adalah melakukan kebijakan
pengaturan dan pengawasan untuk mewujudkan stabilitas ekonomi nasional
yang berkelanjutan melalui sistem kelembagaan perbankan yang lebih kuat,
efisien dan bermanfaat. Aturan corporate governance dalam industri
umumnya bersifat sukarela (voluntary) dan tidak mencampuri urusan proses
governance perusahaan tersebut. Dalam industri perbankan regulasi yang
ada mempengaruhi proses governance bank secara langsung dan merupakan
hal yang harus dipatuhi, karena dinyatakan dalam bentuk peraturan
perundang-undangan. Pelanggaran terhadap regulasi tersebut merupakan
pelanggaran kepatuhan dan mempunyai ancaman sanksi hukum.
Penerapan GCG perbankan dianggap unik karena memiliki karakteristik yang
berbeda dengan perusahaan keuangan jenis lain maupun perusahaan non
keuangan. Keunikan perbankan terutama dilihat dari neraca yaitu aset
perbankan rata-rata adalah kredit yang sebagian besar bersifat jangka
panjang, sedangkan sisi liabilities adalah tabungan dan deposito yang
memiliki sifat jangka pendek. Pengelolaan yang tidak hati-hati akan
menyebabkan terjadinya mismatch antara aktiva dan pasiva. Terjadinya
mismatch dapat menyebabkan pembukuan negatif bagi bank. Penyaluran
kredit kepada pihak terkait dapat bersifat positif jika keterkaitan itu
meminimkan risiko dan sebaliknya akan bersifat negatif jika justru
menambah risiko gagal bayar akibat terjadinya moral hazard.
Bagaimanapun, GCG menjadi kental ketika ada persinggungan kepentingan
antara pemilik dan manajemen. (Rofikoh Rokhim, 2006)
Implementasi Good Corporate Governance
Dalam pelaksanaan GCG di perbankan adalah penting bagi perbankan untuk
melakukan pentahapan yang cermat berdasarkan analisis atas situasi dan
kondisi bank, dan tingkat kesiapannya, sehingga penerapan GCG dapat
berjalan lancar dan mendapatkan dukungan dari seluruh unsur di dalam
bank.
Pedoman GCG Perbankan Indonesia menguraikan bahwa pengaturan dan
implementasi GCG memerlukan komitmen dari top management dan seluruh
jajaran organisasi. Pelaksanaannya dimulai dari penetapan kebijakan
dasar (strategic policy) dan kode etik yang harus dipatuhi oleh semua
pihak dalam perusahaan. Bagi perbankan Indonesia, kepatuhan terhadap
kode etik yang diwujudkan dalam satunya kata dan perbuatan, merupakan
faktor penting sebagai landasan penerapan GCG. Adapun pedoman yang
terdapat dalam Pedoman GCG Perbankan Indonesia, adalah sebagai berikut:
1. Pelaksanaan GCG dapat dilakukan melalui lima tindakan, yaitu:
a. Penetapan visi, misi dan corporate values
b. Penyusunan corporate governance structure
c. Pembentukan corporate culture
d. Penetapan sarana public disclousures
e. Penyempurnaan berbagai kebijakan bank sehingga memenuhi prinsip GCG
2. Penetapan visi, misi dan corporate values merupakan langkah awal
yang harus dilaksanakan dalam penerapan GCG oleh suatu bank.
3. Corporate governance structure dapat diterapkan secara bertahap dan terdiri dari sekurang-kurangnya:
a. Kebijakan corporate governance yang selain memuat visi dan misi
bank, juga memuat tekad untuk melaksanakan GCG dan pedoman-pedoman
pokok penerapan prinsip GCG yaitu Transparency, Accountability,
Responsibility, Independency dan Fairness.
b. Code of Conduct yang memuat pedoman perilaku wajar dan dapat dipercaya dari pimpinan dan karyawan bank.
c. Tata Tertib Kerja Dewan Komisaris dan Tata Tertib Kerja Direksi
yang memuat hak dan kewajiban serta akuntabilitas dari Dewan Komisaris
dan Direksi maupun para anggotanya masing-masing.
d. Organisasi yang di dalamnya tercermin adanya risk management, internal control dan compliance.
e. Kebijakan risk management, audit dan compliance.
f. Human resourse policy yang jelas dan transparan.
g. Corporate plan yang menggambarkan arah jangka panjang yang jelas.
4. Pembentukan corporate culture untuk memperlancar pencapaian visi
dan misi serta implementasi corporate governance structure. Corporate
culture terbentuk melalui penetapan prinsip dasar (guilding principles),
nilai-nilai (values) dan norma-norma (norms) yang disepakati serta
dilaksanakan secara konsisten dengan contoh konkrit dari pimpinan bank.
Corporate culture perlu didiskusikan secara berkesinambungan dan
ditunjang oleh social communication.
5. Pembentukan pola dan sasaran disclousure sangat diperlukan sebagai
bagian dari akuntabilitas bank kepada stakeholders. Sarana disclousure
dapat melalui laporan tahunan (annual report), situs internet (website),
review pelaksanaan GCG dan sarana lainnya.
Ada pula tahapan penerapan GCG pada bank yang dikemukakan oleh Leo J.
Susilo dan Karlen Simarmata (2007:141). Pentahapan tersebut diberi nama
GCG (Good Corporate Governance), GGC (Good Governed Corporate) dan GCC
(Good Corporate Citizen). Secara garis besar tahapan tersebut
diilustrasikan pada skema 3.1 berikut ini:
Skema Tahapan Penerapan GCG
Tahap GCG (Good Corporate Governance)
Tujuan dari penerapan GCG pada tahap ini adalah memenuhi semua ketentuan
penerapan GCG yang berlaku (compliance). sesuai dengan tujuan dari
tahap ini maka aktivitas utamanya adalah penyusunan pedoman GCG sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dan kelengkapan struktur dan proses
yang diminta.
Pedoman GCG yang harus disusun pada tahap ini pada dasarnya terdiri dari:
a. Pedoman Corporate governance yang meliputi:
- Pedoman umum GCG untuk perusahaan (GCG Code)
- Pedoman GCG untuk Direksi dan Komisaris (Board Manual)
- Pedoman etika korporasi (Code of Conduct) termasuk aturan tentang benturan kepentingan.
b. Piagam untuk komite-komite yang diwajibkan, misalnya:
- Komite Audit, Komite Pemantau Risiko, Komite Governance, Nominasi dan Renumerasi (Audit Charter, Risk Committee Charter, Governance and Nomination & Renumeration Committee Charter, etc.);
- Pedoman untuk komite-komite eksekutif bila ada;
- Pedoman untuk Satuan Kerja Auditor Intern/Satuan pengawasan Intern.
c. Kebijakan-kebijakan yang terkait dengan penerapan GCG dan prudential regulation, yang antara lain meliputi:
- Kebijakan disclousure and transparency;
- Kebijakan Manajemen Risiko;
- Kebijakan Sistem Pengendalian Intern;
- Kebijakan Pelaksanaan BMPK;
- Kebijakan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah;
- Kebijakan Kepatuhan (Compliance Policy).
Setelah pedoman GCG selesai disusun, maka aktivitas berikutnya dalam
tahap GCG adalah melakukan sosialisasi implementasi awal. Sosialisasi
dilakukan dengan metode top down approach, dimulai dari Direksi dan
Komisaris. Ini perlu karena dalam banyak hal pembentukan tone at the top
merupakan hal yang penting dalam pelaksanaan GCG. Khusus terkait dengan
penerapan etika korporasi dan penegakan sistem pengendalian intern
bank, maka unsur tone at the top mutlak diperlukan.
Untuk implementasi awal yang menjadi sasaran adalah pelaksanaan GCG pada
tingkat organ perseroan dan organ pendukungnya. Sedangkan untuk
prudential regulating haruslah disusun standar pelaksanaan
operasionalnya (standar operating procedures) yang lebih rinci terlebih
dahulu.
Setelah sosialisasi dan implementasi awal dilakukan maka perlu diadakan
self assessment untuk menilai seberapa jauh pelaksanaan awal GCG telah
berhasil. Apakah sudah sesuai rencana, ataukah masih menemui hambatan.
Dengan mengetahui kondisi peta pelaksanaan awal GCG ini maka dapat
dilakukan perbaikan seperlunya untuk meningkatkan efektifitas
pelaksanaan GCG. Hasil self assessment ini juga harus dilaporkan ke Bank
Indonesia, sebagaimana dituntut oleh PBI No. 8/14/PBI/2006 jo PBI No.
8/4/PBI/2006.
Tahap GGC (Good Governed Corporate)
Tujuan tahap ini adalah pelaksanaan prinsip-prinsip GCG pada semua
proses bisnis dengan didukung oleh tersedianya pedoman perusahaan dari
tingkat manajemen puncak hingga tingkat operasional. Melalui pelaksanaan
yang lebih intensif, diharapkan secara perlahan tetapi pasti terbentuk
“Budaya GCG” diseluruh jajaran perusahaan. Dengan demikian diharapkan
“prudential banking” sudah menjadi second nature bagi seluruh karyawan
bank. Tahap ini merupakan tahap terpanjang dan kritis dari pelaksanaan
GCG pada bank.
Secara garis besar aktivitas pada tahap GCG adalah sebagai berikut:
a. Penyusunan buku pedoman perusahaan untuk semua kebijakan
prudential regulation yang telah ditetapkan oleh Direksi bank dan
diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip GCG;
b. Penyusunan buku pedoman perusahaan untuk semua kegiatan
penunjang operasi perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dan prinsip-prinsip GCG;
c. Sosialisasi dan penerapan buku pedoman peruasahaan yang telah
disusun secara bertahap hingga ke seluruh aspek operasional perusahaan;
d. Melakukan asesmen dan evaluasi berkala untuk meningkatkan
efektifitas penerapan buku pedoman perusahaan sesuai dengan
prinsip-prinsip GCG dan peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan sosialisasi dilakukan secara terbatas. Artinya pihak-pihak
yang terkait langsung dengan proses bisnis tersebut wajib untuk memahami
buku pedoman perusahaan tersebut. Oleh karena itu, mereka harus
terlibat dengan intens dalam sosialiasasinya. Untuk pihak lain
sosialisasi lebih didasarkan pada need to know basis saja dan tidak
perlu ikut secara intens. Selama proses sosialisasi tersebut, pedoman
etika korporasi dan asas prudential bank harus selalu dijadikan acuan
proses, sehingga dalam pelaksanaan implementasinya nanti budaya GCG
dapat betul-betul secara perlahan menjadi “second nature’.
Evaluasi dan self assessment secara berkala haruslah dilaksanakan
sebagai sarana untuk mengukur kemajuan yang telah dicapai dan juga
sekaligus untuk melakukan perbaikan serta peningkatan pelaksanaan GCG.
Selain itu hasil dari evaluasi dan self assessment ini menjadi bahan
untuk dilaporkan ke Bank Indonesia, sebagaimana diatur dalam PBI No.
8/14/PBI/2006 jo. PBI No. 8/4/PBI/2006.
Tahap GCC (Good Corporate Citizen)
Tahapan yang terakhir adalah GCG dimana perusahaan sudah menjadikan
prinsip-prinsip GCG menjadi bagian dari budaya perusahaan. Salah satu
ciri kegiatan penerapan GCG pada tahap ini adalah pelaksanaan Corporate
Social Responsibility (CSR). Melalui kegiatan ini perusahaan menjadi
mampu membuat citra perusahaan menjadi perusahaan yang etis dan
sekaligus mempunyai kinerja baik. Selain itu juga ikut berperan dalam
penciptaan lingkungan sosial dan kehidupan masyarakat yang lebih baik,
serta pelestarian lingkungan hidup. Dari aktivitas inilah perusahaan
mendapatkan predikat sebagai Good Corporate Citizen.
Tahapan implementasi GCG yang diungkapkan oleh Wilson Arafat (2008:172)
meliputi 5 langkah strategis yang dapat ditempuh untuk meretas dan
meniti “The GCG Ways” sebagai berikut:
Langka I: Membangun Awareness
Membangun awareness dapat dilakukan dengan mengadakan pelatihan (inhouse
training) agar segenap jajaran dan jenjang organisasi di suatu
perusahaan mendapat pemahaman dan pengetahuan utuh berkenaan dengan
segala sesuatu tentang GCG. Efektivitas implementasi GCG tidak akan
dapat tercapai dengan baik jika hal ini tidak terpenuhi.
Langkah II: Membangun Manual
Dengan bekal pengetahuan dan pemahaman yang utuh serta – yang terpenting
– sangat menyadari keniscayaan implementasi GCG yang diperoleh dari
pelatihan maka suatu perusahaan dapat melakukan workshop dengan fokus
untuk membangun manual GCG. Manual GCG tersebut minimal telah
mengakomodir semua ketentuan yang telah ditetapkan oleh lembaga otoritas
yang mengatur industri yang bersangkutan. Tersedianya manual GCG bagi
suatu perusahaan sangat diperlukan sebagai pedoman dasar ketika
melaksanakan GCG di lapangan bagi semua tingkatan dan jenjang
organisasi.
Langka III: Benchmarking
Untuk lebih meyakinkan bahwa Manual GCG yang telah dibuat suatu
perusahaan telah sesuai dengan best practice maka harus dilakukan proses
benchmarking. Tujuan benchmarking tersebut adalah untuk memahami dan
mengevaluasi posisi dari bisnis yang dilakukan oleh suatu organisasi
yang berhubungan dengan best practice dan untuk mengidentifikasi
area-area yang dibutuhkan sehingga dapat dipahami dengan baik dalam
upaya meningkatkan kinerja organisasi tersebut.
Langka IV: Pengembangan Software
Betapa sulit, rumit dan peliknya manajemen dan person yang menjadi
koordinator implementasi GCG di suatu perusahaan ketika melakukan
koordinasi, evaluasi dan monitoring terhadap pelaksanaan GCG tanpa
bantuan sebuah tools, berupa software. Oleh karena itu, mengembangkan
software untuk mendukung efektifitas implementasi GCG sangat dibutuhkan.
Keempat langkah di atas merupakan cara strategis untuk membangun sistem
kontrol yang dapat ditempuh oleh suatu perusahaan di dalam
mengimplementasikan GCG.
Langkah V: Transformasi Budaya Kerja
Dengan membangun sistem kontrol saja belum cukup untuk dapat
mengimplementasikan GCG dengan baik. Oleh karena itu, harus dibumikan
budaya kerja GCG. Singkat kata, harus dilakukan proses transformasi
budaya kerja atau membumikan budaya kerja yang mengadopsi
prinsip-prinsip GCG dengan cara berikut ini:
a. Melakukan paradigm shift dengan melaksanakan sembilan langkah transformasi budaya kerja perbankan, yang meliputi:
- Terapi budaya kerja
- Inventaris & kodifikasi nilai budaya kerja
- Evaluasi dan analisis
- Rumuskan nilai budaya kerja kunci
- Tentukan “gap” budaya kerja
- Uji sampel representatif
- Tanamkan nilai budaya kerja baru
- Lakukan pengendalian
b. Membangun dan atau menetapkan Corporate Code of Conduct. Hal ini
harus dilakukan karena kebutuhan implementasi harus membumi dan
terukur. Salah satu caranya adalah melalui penyempurnaan dan
implementasi Corporate Code of Conduct baik bagi board (komisaris dan
direksi) maupun pegawai. Tujuan penyempurnaan dan implementasi Corporate
Code of Conduct adalah membangun komitmen segenap jajaran perusahaan
untuk mengaplikasikan GCG dalam mencapai keuntungan jangka panjang bagi
perusahaan. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa untuk mewujudkan
apa yang dipahami sebagai GCG ke dalam bentuk kongkret, suatu perusahaan
perlu merumuskan dan menerapkan nilai-nilai etika berusaha sesuai
dengan prinsip-prinsip GCG dan budaya perusahaan yang dimilikinya
kedalam panduan etia alias Corporate Code of Conduct.
Kerangka Pikir
Aktivitas perbankan diharapkan dapat meningkatkan pemerataan dan
pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah. Perbankan bukanlah komunitas
yang terisolasi, namun merupakan komunitas terbuka yang berinteraksi
dengan lingkungannya. Bank berinteraksi dengan masyarakat dan badan
bisnis lain sebagai nasabah penyimpan dan peminjam, dan dengan
pemerintah sebagai pemutus kebijakan dan peraturan yang harus
diikutinya. Untuk itu, perbankan yang sehat dan kuat merupakan syarat
mutlak yang harus dipenuhi.
Perbankan yang sehat dan kuat merupakan cita-cita kita semua dan untuk
mewujudkannya diperlukan implementasi GCG. Implementasi GCG yang
konsisten dan terpadu akan menyelaraskan hubungan antar-stakeholders
dalam menentukan dan mengendalikan arah strategi dan kinerja perbankan.
Good Corporate Governance menegaskan pentingnya prinsip-prinsip
keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability),
pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency), dan
kewajaran (fairness) dipegang teguh dalam setiap tindakan dan perilaku
organ perbankan sehari-hari.
Salah satu bank yang turut mewarnai dinamika perbankan nasional, Bank
Pembangunan Daerah (BPD) Sultra juga mesti mengimplementasikan GCG.
Implementasi GCG secara konsisten dan terpadu dapat meningkatkan kinerja
dan nilai perusahaan (BPD Sultra) dalam jangka panjang tanpa
mengabaikan kepentingan stakeholders. Untuk itu, spirit kelima prinsip
GCG haruslah menjadi cerminan dalam setiap aktivitas BPD Sultra beserta
seluruh jajarannya.
Dalam penelitian ini implementasi Good Corporate Governance pada Bank
Pembangunan Daerah (BPD) Sultra akan dianalisis dengan menggunakan
analisis deskriptif. Selanjutnya hasil analisis tersebut akan
direkomendasikan pada Bank Pembangunan Daerah (BPD) Sultra. Adapun
kerangka pemikiran yang dirancang dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Sumber :