TUGAS SOFTSKILL BAHASA
INDONESIA
MUKHLASIN
25211028
3EB10
Penjualan
emas pada 2014 diprediksi masih stabil menyusul tren harga emas dunia yang
cenderung turun serta pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS.
”Penjualan
emas cenderung stabil di tahun ini, tidak naik dan tidak turun. Dampak
pelemahan rupiah terhadap dolar AS dan harga emas dunia yang cenderung turun
membuat daya beli masyarakat terhadap perhiasan emas masih stabil,” ungkap
Ketua Asosiasi Pengusaha Emas dan Permata Indonesia (APEPI) Kota Semarang, Bambang
Yuwono, kemarin.
Selama ini
tren harga emas, kata dia, dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, pelemahan kurs
rupiah terhadap dolar AS serta harga emas dunia. Harga emas memang tidak bisa
diprediksi karena harganya selalu bergerak menyesuaikan harga emas dunia.
Harga emas
dunia tergantung situasi ekonomi pasar global. Menurut Bambang, nilai tukar
rupiah terhadap dolar AS akan terus melemah apabila situasi perekonomian
Indonesia tidak kondusif.
Apalagi
tahun ini, akan digelar pesta demokrasi Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden.
Bambang memperkirakan, situasi selama Pemilu akan menentukan nilai tukar
rupiah. Kalaupun situasi selama Pemilu aman dan berlangsung kondusif dapat
dipastikan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kembali menguat.
”Saya kira
Pemilu berlangsung aman. Dengan begitu, harga emas cenderung stabil. Sehingga,
diharapkan daya beli emas kembali bergairah,” tutur pemilik toko emas Dewi Sri
di Jalan KH Agus Salim.
Cenderung
Turun
Tercatat,
belakangan ini harga perhiasan emas cenderung turun. Pada Rabu (15/1) emas
perhiasan kadar 99% mencapai Rp 487 ribu per gram turun dari semula Rp 480 ribu
per gram. Harga emas dengan kadar 75% sebesar Rp 440 ribu per gram turun dari
Rp 430 ribu per gram. Sedang, emas dengan kadar 42% mencapai Rp 240 ribu per
gram turun dari sekitar Rp 230 ribu per gram. Turunnya harga emas, imbuh
Bambang, tidak disertai dengan peningkatan penjualan.
Daya beli
masyarakat terhadap perhiasan masih lesu. Kurun dua hari terakhir, penjualan
emas cenderung sepi. Terjadi penurunan penjualan sebesar 30%.
”Penjualan
perhiasan emas merosot sejak awal Januari lalu. Kondisi ini dipengaruhi
kenaikan harga elpiji 12 kilogram dan melambungnya bahan-bahan pokok,” ujarnya.
Kenaikan elpiji 12 kg membuat masyarakat menunda untuk membeli perhiasan emas.
Mereka lebih mengutamakan kebutuhan pokok dibanding membeli perhiasan emas.
Daya beli masyarakat cenderung menurun, terutama masyarakat perkotaan.
Selama ini,
kata Bambang, masyarakat kota mengandalkan sisa penghasilan mereka untuk
membeli perhiasan. Jika ada sisa penghasilan mereka membeli perhiasan emas
untuk investasi.
Pelemahan
nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), tidak dirasakan
langsung industri minuman ringan dalam negeri.
Namun
kondisi ini memunculkan kekhawatiran pelemahan rupiah akan berdampak pada
berkurangnya konsumsi masyarakat terhadap minuman ringan siap saji.
Hal tersebut
disampaikan Ketua Umum Asosiasi industri Minuman Ringan (ASRIM) Triyono
Prijosoesilo saat berbincang dengan Liputan6.com.
"Sampai
saat ini dampaknya belum terasa ke sisi produksi, namun yang jadi pertimbangan
apakah pelemahan rupiah ini nantinya akan berpengaruh terhadap daya beli
masyarakat. Jadi yang ditakutkan industri itu lebih kepada daya beli,"
ujar dia di Jakarta, seperti ditulis Rabu (21/8/2013).
Kemungkinan
penurunan daya beli masyarakat ini, menurut Triyono, terjadi bila pelemahan
rupiah berlangsung lama dan ditambah dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada
tahun ini tidak sekuat tahun lalu.
Hal ini
menjadi tantangan yang dihadapi perekonomian nasional karean perilaku konsumen
bisa saja berubah untuk lebih menjaga konsumsinya.
"Seperti
contoh, bisa saja ada perubahan pola dari pada membeli minuman diluar, lebih
menghemat dengan membawa minuman sendiri, atau dari pada makan direstoran yang
pasti juga harus beli minum, mereka lebih memilih untuk makan dirumah,"
tutur dia.
Sedangkan
dari sisi produksi, dia mengatakan, untuk bahan baku industri minuman ringan
nasional secara umum hanya berasal dari dalam negeri. Namun untuk bahan baku
pengemasan ini yang masih mengimpor dari luar negeri.
Meskipun
jumlahnya tidak terlalu besar, pelemahan rupiah seperti sekarang bukan tidak
mungkin juga akan mempengaruhi biaya produksi dan harga jual minuman ringan.
"Masih
impor itu seperti PET (polyethylene terephthalate) dan alumunium untuk kemasan,
tetapi jumlahnya tidak sebesar yang suplai dari luar negeri jadi secara
kontribusi ke biaya produksi tidak terlalu besar. Tetapi kita akan terus awas
hal ini," tandas Triyono.
Langkah Bank Indonesia (BI) yang terkesan membiarkan nilai tukar rupiah melemah beberapa bulan terakhir ini hingga melewati 12.000 per dollar AS memang berpengaruh baik bagi cadangan devisa yang terus meningkat.
Namun, di sisi lain, juga ada dampak negatif yang tidak kalah serius. Ada pelajaran penting di balik kondisi rupiah yang melemah terhadap dollar AS menjelang akhir 2013 sampai pertengahan Januari 2014.
Pelemahan rupiah semestinya diatasi serius karena bisa menimbulkan efek domino yang memperpuruk perekonomian rakyat pada 2014. Efek tersebut juga mengurangi daya beli masyarakat dan mengancam kelangsungan lapangan kerja karena dunia usaha dan industri kesulitan atau tidak mampu membeli bahan baku impor untuk proses produksi.
Publik sempat kecewa dengan sikap BI yang secara tidak langsung menyatakan bahwa pelemahan rupiah wajar karena banyak utang jatuh tempo akhir tahun sehingga permintaan terhadap dollar melonjak. BI juga menyatakan pelemahan rupiah sudah sesuai dengan fundamental ekonomi Indonesia.
Dalam domain keilmuan ekonomi moneter, fundamental nilai tukar ditentukan beberapa faktor, seperti terms of trade, perbandingan antara harga barang luar negeri dan domestik, aset internasional yang dimiliki suatu negara, serta perbandingan pertumbuhan uang beredar dalam negeri dengan pertumbuhan uang beredar luar negeri, yaitu pertumbuhan jumlah dollar.
Indonesia yang banyak bergantung pada produk komoditas saat ini cukup terpukul karena harga di tingkat global turun sehingga terms of trade memburuk. Kemudian, cadangan devisa saat ini naik hingga 99,38 miliar dollar AS.
Memasuki 2014, Indonesia terkena langsung dampak turbulensi perekonomian global yang memorakporandakan teori-teori ekonomi keuangan. Berbagai kebijakan telah diluncurkan untuk mengatasi dampak tersebut, seperti menaikkan BI Rate. Namun, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tidak kunjung menguat.
Ada buku menarik berjudul Stabilizing The Unstable Economy karya Herman P Minsky yang bisa dijadikan referensi untuk menghadapi turbulensi perekonomian 2014.
Selama ini, para akademisi dan praktisi ekonomi mengenal istilah Minsky Moment untuk menggambarkan ekonomi yang berada dalam kondisi turbulensi. Kini, istilah tersebut menjadi relevan kembali setelah sekian lama tertimbun keangkuhan neoliberalisme.
Selama ini, pasar telah berjalan di jalur bebas hambatan. Hampir semua rezim pemerintahan di muka Bumi menciptakan kondisi yang memungkinkan pasar bekerja sempurna, termasuk membuat UU yang memuluskan pergerakan barang, jasa, keuangan, pembentukan lembaga-lembaga pendukung, serta mencegah segala rupa gangguan dari individu atau kelompok terhadap mekanisme pasar.
Intinya, dalam rezim neoliberal, peran negara tut wuri handayani, mendukung dari belakang. Setelah sekian lama, apa yang terjadi? Ternyata daya dan upaya tadi justru mengakibatkan turbulensi tiada henti.
Dengan kondisi demikian, banyak pihak yang merekomendasikan inversi atau pembalikan situasi yang menyebabkan turbulensi tersebut dengan memberlakukan kebijakan tidak lagi melepas sebebas-bebasnya. Di balik rekomendasi tersebut, bekerja model analisis yang melihat krisis saat ini bersifat siklikal bersandar pada teori siklus bisnis (business cycle), yang populer disebut Minsky Moment.
Teori siklus bisnis itu secara sederhana dinyatakan adanya dua periode. Pada mulanya, periode optimisme dalam pasar finansial. Ini ditandai dengan tindakan agresif ekspansif pemberi dan penerima pinjaman karena peluang keuntungan besar di masa depan.
Akibatnya, dalam periode ini, kehati-hatian diabaikan. Praktik spekulasi sangat dominan sehingga menggiring pada periode yang disebut the death of business cylce. Lalu, muncul periode pesimisme yang ditandai dengan hilangnya kepercayaan pada pelaku pasar yang menyebabkan krisis finansial.
Menurut Herman Minsky, ekonom yang pernah terpinggirkan selama periode optimisme pasar finansial, untuk mencegah krisis yang lebih luas, perlu memaksimalkan peran Dewan Bank Sentral AS.
Mereka bersama bank sentral negara-negara kapitalis maju lainnya bertindak sebagai lender of the last resort atau pemberi pinjaman terakhir. Kemudian, membawa kembali peran negara yang aktif dan intervensionis dalam pasar guna menstabilkan turbulensi ekonomi tersebut.
Keyness dikenal dengan rekomendasi untuk mengedepankan kebijakan moneter dibanding stimulus fiskal. Kebijakan ini melahirkan surplus bujet pada periode pertumbuhan untuk menciptakan ruang gerak membawa siklus bisnis ke wilayah soft landing jika terjadi ketidakstabilan atau turbulensi.
Minsky mengusulkan cara berbeda dengan menekankan bahaya suatu bangsa yang mengalami turbulensi ekonomi. Ini disebut fenomena ketidakpastian masuknya investasi yang dapat mengganggu aliran dana segar atau cash flow saat turbulensi. Gangguan ini melahirkan volatility of investment.
Lewat bukunya, Stabilizing The Unstable Economy, Minsky menjelaskan ekonomi suatu bangsa bisa rentan saat menghadapi fluktuasi dan cara memiliki instrumen untuk memagari perambatan fluktuasi. Menurutnya, proses yang menyebabkan financial fragility bersifat alamiah yang inheren sebagai kekuatan tersembunyi bekerja dalam sistem ekonomi suatu bangsa.
Minsky lebih mengedepankan peranan inovasi dan daya kewirausahaan untuk mengambil risiko sebagai faktor penggerak utama dari siklus bisnis. Hanya dengan program inovasi yang tepat dan menularkan kewirausahaan kepada rakyat luas yang mampu mengatasi turbulensi ekonomi.
Otoritas ekonomi suatu bangsa mestinya mencermati dengan baik teori Minsky yang bisa menunjukkan celah cara memotong rantai kecenderungan spiral down atau pusaran siklus yang menyedot energi dan sumber daya. Konkretnya, suatu pusaran karena defisit neraca perdagangan sehingga menyebabkan harga dollar terus meningkat dan rupiah melemah. Semua bahan kebutuhan pokok naik harganya.
Kenaikan harga membawa aliran daya beli rumah tangga terpuruk dan semakin tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup. Siklus spiral down tersebut perlu dikaji secara mendalam agar bisa dihentikan (Minsky Moment).
Intervensi pemerintah dan BI yang lebih besar dan sistemik agar nilai tukar rupiah tidak terus tersungkur tahun ini amat penting. Apalagi kebijakan nilai tukar fleksibel atau mengambang yang dianut otoritas moneter sangat rentan terhadap transaksi arbitrase yang memborong suatu mata uang lalu menjual dengan harga tinggi. Ini juga rentan terhadap spekulasi yang memanfaatkan ketidakpastian di dalam mekanisme pasar. Pemerintah hendaknya tidak mengabaikan dampak negatif kegiatan spekulan lokal dan global terhadap nilai tukar rupiah sekarang.